Perpol 10/2025 Vs Putusan MK Soal Gibran: Edy Mulyadi Sindir Tafsir Konstitusi Ala "Suka-suka"
Kritik datang dari wartawan senior Edy Mulyadi. Dalam sebuah artikelnya yang terbit Rabu lalu, 24 Desember 2025, ia memperingatkan bahwa keruntuhan negara hukum tak selalu datang lewat kudeta atau aksi kekerasan. Bisa juga lewat cara yang lebih pelan, tapi berbahaya.
“Negara hukum runtuh bukan selalu karena kudeta atau kekerasan. Ia bisa roboh perlahan,” tulisnya.
“Antara lain saat konstitusi ditafsirkan secara selektif. Secara suka-suka. Keras terhadap yang lemah. Lentur terhadap yang berkuasa.”
Nah, menurut Edy, Peraturan Kepolisian atau Perpol Nomor 10 Tahun 2025 inilah ujiannya. Ia bukan cuma produk administratif biasa. Lebih dari itu, ia jadi tolok ukur serius bagi konsistensi negara dalam menghormati putusan Mahkamah Konstitusi.
Masalahnya, Perpol ini secara terang-benderang bertabrakan dengan putusan MK yang sifatnya final dan mengikat. Dan ini bukan pelanggaran pertama. Publik masih segar ingatannya dengan putusan MK soal batas usia capres-cawapres di Pilpres 2024 silam. Putusan itulah yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden.
Putusan yang sama itu pula yang dipertahankan mati-matian oleh Jokowi dengan dalih final dan mengikat, meski saat itu banjir kritik dan aroma konflik kepentingan yang menyengat.
“Majelis Kehormatan MK pun dibentuk. Jimly Asshiddiqie ditunjuk jadi ketua. Putusannya, Anwar Usman dicopot dari kursi Ketua MK. Tapi putusan yang meloloskan Gibran tak dicabut. Alasannya, putusan MK final dan mengikat. Nah…,” sindir Edy.
Ujian yang Sama, Standar yang Berbeda?
Sekarang, standar “final dan mengikat” itu diuji lagi. Ada Perpol yang jelas-jelas menabrak putusan MK dan melanggar dua undang-undang sekaligus. Tapi anehnya, ia malah diperlakukan sebagai polemik yang bisa dinegosiasikan lewat Peraturan Pemerintah.
Pertanyaan yang muncul kemudian tak terhindarkan: apakah konstitusi masih ditegakkan secara konsisten? Atau cuma berlaku saat menguntungkan kekuasaan? Sekali lagi, suka-suka penguasa?
Dari sisi hukum, Edy membeberkan, Perpol 10/2025 ini bermasalah sejak lahir. Ia tak cuma bertentangan dengan putusan MK, tapi juga berhadap-hadapan langsung dengan Undang-Undang Polri dan Undang-Undang ASN.
“Dalam hierarki peraturan, Perpol berada jauh di bawah undang-undang. Apalagi putusan MK. Jadi sebenarnya tidak perlu tafsir rumit untuk menyimpulkan hal sederhana: Perpol ini cacat secara konstitusional,” ungkapnya.
Dalam negara hukum yang sehat, kondisi seperti ini seharusnya tidak melahirkan polemik berkepanjangan. Tidak ada ruang untuk kompromi. Ketika peraturan rendah bertabrakan dengan norma hukum yang lebih tinggi, satu-satunya jalan yang sah adalah pembatalan. Titik.
Artikel Terkait
Gemerlap Lampu Natal Menyulap Bundaran HI Jadi Destinasi Malam Warga Jakarta
Kapolda Lampung Turun Langsung Pantau Kesiapan Arus Mudik di Bakauheni
Gus Yahya Ungkap Upaya Islah dengan Rais Aam PBNU Belum Berjawab
Gubernur Sumsel Blusukan ke Gereja, Pastikan Natal Aman dan Kondusif