Edy Mulyadi Soroti Perpol 10/2025: Ujian Terbaru bagi Final dan Mengikat Putusan MK

- Rabu, 24 Desember 2025 | 16:25 WIB
Edy Mulyadi Soroti Perpol 10/2025: Ujian Terbaru bagi Final dan Mengikat Putusan MK

Namun begitu, masalah justru muncul ketika pemerintah memperlakukan pelanggaran konstitusional ini seolah cuma persoalan teknis administratif. Bahkan lebih parah, dianggap sebagai diskursus yang cair dan bisa diatur.

“Logika ini keliru sejak awal,” tegas Edy.

“PP tidak akan pernah memiliki kedudukan untuk mengoreksi, apalagi menegasikan, putusan Mahkamah Konstitusi. Bahkan undang-undang pun tidak bisa. Putusan MK bersifat final dan mengikat bagi seluruh lembaga negara tanpa kecuali.”

“Ketika peraturan yang jelas-jelas melanggar putusan MK dibiarkan hidup, negara sedang mengirim pesan berbahaya: putusan MK ternyata bisa ditawar. Final dan mengikat berubah jadi jargon kosong, tergantung siapa yang berkepentingan dan berkuasa. Suka-suka penguasa!” tandasnya.

Preseden terdekat ya kasus batas usia capres-cawapres itu tadi. Saat konflik kepentingan dipertontonkan dan etika peradilan dipersoalkan, jawaban elite hukum cuma satu: putusan MK tak bisa dibatalkan karena final dan mengikat. Solusinya? Bukan membatalkan putusan, tapi mencopot Ketua MK-nya. Putusannya tetap berlaku.

Sekarang, logika yang sama dipertaruhkan kembali. Kalau Perpol yang nyata-nyata menabrak putusan MK malah dipertahankan dan dicarikan jalan lewat PP, publik pasti bertanya-tanya. Kenapa standar yang dulu dijaga mati-matian, sekarang malah dicari celah untuk ditawar?

“Sepertinya negara mulai memilih-milih putusan MK mana yang ditegakkan dan mana yang bisa ditawar,” sindir Edy. “Ini menggiring pada kesimpulan pahit: konstitusi tidak lagi berdiri di atas kekuasaan. Ia tunduk padanya.”

Solusi yang Sebenarnya Sederhana

Edy menilai, persoalan ini sebenarnya simpel. Presiden Prabowo Subianto tak perlu masuk ke labirin perdebatan hukum yang ruwet. Ia tak butuh PP baru. Juga tak perlu mengerahkan tim pakar atau penengah elite.

“Presiden Prabowo cukup menjalankan prinsip paling dasar dalam negara hukum: peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi,” tegasnya.

“Membatalkan Perpol yang menabrak putusan Mahkamah Konstitusi bukan tindakan politis. Itu kewajiban konstitusional. Sebaliknya, membiarkannya hidup adalah pilihan politik yang berisiko besar bagi fondasi negara hukum.”

“Hari ini Perpol. Besok peraturan menteri. Lusa undang-undang. Jika preseden ini dibiarkan, negara hukum perlahan bergeser menjadi negara tafsir kekuasaan,” ungkap Edy memperingatkan.

Di akhir, ia menegaskan perkara ini sudah terang benderang. Ini bukan lagi soal diskusi atau polemik. Ini soal keberanian menegakkan konstitusi. Pilihannya ada di tangan Presiden: berdiri di pihak hierarki hukum, atau membiarkan standar konstitusi jadi lentur saat kekuasaan merasa terganggu.

Dari situlah publik akan menilai. Apakah konstitusi benar-benar dihormati, atau cuma dikutip kalau lagi menguntungkan penguasa.


Halaman:

Komentar