Di Balik Reruntuhan, Bayang-Bayang Negara yang Absen

- Rabu, 24 Desember 2025 | 09:50 WIB
Di Balik Reruntuhan, Bayang-Bayang Negara yang Absen

Ketika Negara Berpura-pura, Rakyat Pun Sengsara

M. Isa Ansori

Hanya fondasi yang tersisa, setengah terkubur lumpur. Seorang ibu berdiri di sana, menatap kosong ke arah rumahnya yang telah lenyap. Dinding, atap, tanah tempat anak-anaknya biasa bermain semuanya hilang, berganti dengan hamparan pasir berlumpur yang dingin. Air matanya sudah kering. Yang ada hanya kehampaan. Di sekelilingnya, justru terdengar tawa anak-anak yang bermain di atas puing. Tawa itu pahit, seolah mereka belum sepenuhnya paham bahwa yang runtuh bukan cuma tembok, tapi juga masa depan mereka.

Sejak akhir November 2025, banjir bandang dan longsor telah meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Luka yang ditinggalkan sangat dalam. Menurut data terbaru BNPB, korban jiwa sudah lebih dari 1.100 orang. Sekitar 176 orang masih hilang, sementara lebih dari 7.000 lainnya luka-luka. Bayangkan saja: ratusan ribu orang terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah yang hancur dan infrastruktur yang porak-poranda.

Puluhan ribu rumah, sekolah, puskesmas, rumah ibadah, dan jembatan rusak total. Ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ini tentang nyawa yang terenggut, keluarga yang tercerai-berai. Kenyataan pahitnya, payung perlindungan yang dijanjikan negara ternyata sama rapuhnya dengan rumah-rumah yang sudah rata itu.

Namun begitu, ironi terbesar justru datang dari respons pemerintah. Alih-alih fokus pada tindakan nyata, kesan yang muncul adalah mereka sibuk memelihara narasi bahwa situasi "terkendali".

Pernyataan pejabat, misalnya dari Menteri Sekretaris Negara, yang menegaskan bahwa TNI, Polri, dan BNPB sudah bekerja di lapangan, terdengar seperti upaya menjaga citra. Memang, kita tidak menutup mata. Aparat telah berjibaku sejak hari pertama melakukan evakuasi dan membuka akses. Itu fakta.

Tapi kehadiran fisik di lokasi bukanlah kebijakan. Bukan pula pengambilan keputusan strategis. Bagi para korban yang kelaparan, kehausan, dan terputus aksesnya, apa artinya "hadir" jika bantuan pokok tak kunjung sampai? Kehadiran tanpa solusi konkret hanyalah pertunjukan.

Di sisi lain, pemerintah tampak berat hati menetapkan status bencana nasional. Padahal status itu bukan sekadar simbol. Itu adalah kunci untuk mobilisasi sumber daya, koordinasi yang lebih solid, dan membuka pintu bagi bantuan internasional tanpa beban politik.


Halaman:

Komentar