Penutupan Sementara PT TPL Dinilai Langkah Tepat, Tapi Masyarakat Tuntut Permanen
Keputusan pemerintah menutup sementara operasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) menuai dukungan. Langkah itu disebut penting untuk menyelamatkan lingkungan Danau Toba yang sudah terancam. Namun, di lapangan, tuntutannya justru lebih jauh: penutupan untuk selamanya.
Banjir bandang yang menerjang Sibolga, Tapanuli Tengah, Batang Toru, hingga Humbang Hasundutan beberapa waktu lalu seperti alarm yang tak bisa lagi diabaikan. Air bah itu tak hanya membawa lumpur, tapi juga jutaan ton kayu gelondongan dan serpihan kayu. Jelas sekali asalnya dari hutan-hutan di wilayah hulu yang kondisinya sudah memprihatinkan.
Kejadian serupa di Aceh dan Sumatera Barat semakin mengukuhkan fakta pahit ini. Eksploitasi berlebihan oleh industri kayu, sawit, dan tambang telah menggerogoti kawasan hutan. Kerusakannya nyata dan dampaknya langsung dirasakan masyarakat.
Menanggapi langkah pemerintah, Ketua Umum DPP Aliansi Profesional Indonesia Bangkit (APIB), Erick Sitompul, menyebutnya sebagai langkah yang tepat. "Ini sejalan dengan kepentingan lingkungan hidup dan masa depan warga Sumut," katanya.
"Pelestarian kawasan hutan di sekitar Danau Toba, terutama wilayah hulu yang mencakup delapan kabupaten dan Pulau Samosir, sangat penting bagi masa depan lingkungan dan kehidupan masyarakat," ujar Erick kepada wartawan, Selasa (23/12/2025).
Menurutnya, kawasan itu adalah penopang hidup. Bukan cuma soal ekosistem, tapi juga pertanian, peternakan, perikanan, dan pariwisata yang jadi nafkah ribuan orang.
"Danau Toba adalah destinasi wisata internasional yang sudah dikenal dunia. Negara punya kepentingan besar menjaga kelestariannya, apalagi setelah ditetapkan sebagai Geopark Kaldera Toba dalam jaringan UNESCO," tegasnya.
Namun begitu, Erick meragukan rencana audit total selama tiga bulan sebelum pabrik dibuka kembali. Masyarakat, katanya, sudah punya pendirian lain.
“Pertama, masyarakat delapan kabupaten di kawasan Toba sudah sangat tegas meminta PT TPL ditutup permanen karena selama bertahun-tahun menimbulkan kegaduhan dan berpotensi memecah persatuan masyarakat Batak,” jelasnya.
Kedua, soal independensi konsultan audit. Dia menyoroti penggunaan konsultan yang sama dengan audit tahun 2000, era penutupan PT Indorayon Utama nama lama TPL.
“Hasil audit Labat Andersen saat itu terbukti tidak mampu mengubah perilaku dan paradigma manajemen perusahaan agar lebih ramah lingkungan dan menghormati masyarakat adat serta lembaga keagamaan,” kata Erick.
Artikel Terkait
Rakit Pelepah Pisang dan Perjuangan 24 Jam Evakuasi Ibu Hamil di Tengah Banjir Bandang Aceh
Bupati Sintang Rayakan Natal di Balik Jeruji, Berbagi Harapan dengan Warga Binaan
Forum Patriot Siliwangi Desak Prabowo Wujudkan Gagasan Kembali ke UUD 45 Asli
Kyai Jazir Tutup Usia, Ribuan Jamaah Berduka di Masjid Jogokariyan