Sementara itu, 17 kementerian dibuka lebar bagi mereka yang sudah punya pangkat, gaji tetap, dan jaminan hari tua dari negara. Di mana letak keadilannya? Saat pemuda-pemuda lain antre bantuan sosial karena tak kunjung dapat pekerjaan, negara justru menyediakan "piring tambahan" untuk yang sudah kenyang. Ini terasa menyakitkan.
Praktik ini jelas memukul mundur meritokrasi. Jabatan sipil yang mestinya diperebutkan melalui kompetisi terbuka, kini seolah "dijatahkan" untuk institusi keamanan. Lalu, untuk apa lagi anak muda berprestasi di jalur sipil jika jalannya sudah dipagari sejak awal?
Kesimpulan yang Menyentuh
Secara administratif, Perpol ini mungkin sah di mata para perancangnya. Tapi coba tanya pada hati nurani yang jujur, sulit untuk menerimanya. Jabatan bukan cuma kursi kayu untuk diduduki. Ia adalah amanah untuk melayani. Bisakah seseorang melayani dengan utuh jika pikirannya terbelah, kakinya menginjak dua dunia yang berbeda?
Negara tak boleh membiarkan seragam menjadi tiket prioritas untuk merambah setiap sudut birokrasi. Sementara rakyat biasa harus merangkak di sela-sela kesempatan yang makin sempit.
Pertanyaan besarnya: jika satu kursi di kementerian bisa menghidupi satu keluarga sipil yang sedang terhimpit, mengapa kursi itu harus diberikan pada mereka yang sudah memanggul senjata dan punya jabatan?
Menghentikan praktik "perluasan jabatan" ini adalah langkah nyata untuk memanusiakan manusia. Ini tentang memberi harapan. Bahwa di negeri ini, kerja keras dan ijazah masih ada harganya. Dan bahwa kursi kekuasaan tak selamanya bisa diduduki oleh orang yang sama, di waktu yang bersamaan.
Bekasi, 23 Desember 2025 AAAA
Artikel Terkait
Office Boy Gasak Rp 400 Juta dari Perusahaan, Habiskan untuk Judi Online dan Persiapan Nikah
Jawa Timur Ganti Pesta Kembang Api dengan Doa untuk Korban Musibah
WPA Hash Gantikan Strategi Tahan dengan Arus Kas Otomatis untuk Pemegang Bitcoin, XRP, dan Solana
Sistem e-Report JDIH 2025: Penilaian Kinerja Dipermudah, Target Integrasi Data Diperketat