Edy Mulyadi: Perpol 10/2025 dan Gerilya Hukum Cendekiawan Kanebo
Di penghujung 2025, pemerintahan Prabowo Subianto menghadapi ujian yang tak main-main. Begitulah gambaran yang diungkapkan wartawan senior Edy Mulyadi dalam sebuah artikel tertanggal 22 Desember lalu. Ujian itu datang dari sebuah gerilya hukum yang sedang berlangsung, berusaha mengakomodasi Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025. Masalahnya, Perpol ini terang-terangan berbenturan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan dua undang-undang sekaligus.
“Perpol ini membuka pintu bagi polisi aktif menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga,” kata Edy Mulyadi.
“Padahal putusan MK tegas melarangnya, kecuali setelah pensiun atau mundur. Sementara UU ASN Pasal 19 ayat (3) menegaskan jabatan sipil tak boleh dirangkap oleh personel keamanan aktif,” tambahnya.
Alur logikanya seharusnya sederhana. Presiden Prabowo semestinya memerintahkan Kapolri Listyo Sigit untuk mencabut aturan yang dianggap ngawur itu. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Bukannya mencabut, pemerintah malah menyiapkan Peraturan Pemerintah untuk mengakomodasi Perpol tersebut. Menko Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, berdalih langkah ini diambil “untuk mengakhiri polemik”.
Bagi Edy, penjelasan Yusril ini justru terlihat seperti manuver untuk melegitimasi pelanggaran. Sebuah upaya mengaburkan garis konstitusi demi konsolidasi kekuasaan. Yang lebih mencengangkan, di garis depan gerilya hukum ini berdiri tiga profesor hukum tata negara: Yusril sendiri, Moh. Mahfud MD, dan Jimly Asshiddiqie. Dua nama terakhir adalah Ketua dan Anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri.
“Sangat mengherankan, tiga tokoh ini terlibat bahu-membahu ‘mengamankan’ Perpol yang jelas cacat hukum,” ujarnya.
“Mereka mestinya paham betul bahwa Perpol ini salah fatal sejak awal. Antara lain karena dalam konsiderannya sama sekali tak merujuk putusan MK yang melarang penugasan tersebut. Fakta ini membuat isu Perpol bukan sekadar persoalan teknis, melainkan pertaruhan integritas intelektual di hadapan kekuasaan,” tegas Edy.
NKRI Bubar Saja?
Suara kritik keras juga datang dari Muhammad Said Didu. Dalam podcast Bang Edy Channel, Senin lalu, mantan pejabat BUMN ini menyindir ketiga profesor sebagai “bemper” yang melindungi pelanggaran konstitusi. Bahkan dengan nada sinis, Said menyebut mereka sebagai “cendekiawan Kanebo” cendekiawan penghapus kotoran kekuasaan.
“Jika putusan MK soal pensiun polisi bisa diakali via PP, apakah NKRI mau bubar saja?” tukas Said Didu.
Artikel Terkait
Pernikahan Lintas Benua Warga Salumakarra dan Sudan, Ijab Kabul Berbahasa Arab
Saat Ijazah Jokowi Ditunjukkan, Ruang Sidang Tiba-tiba Sunyi
Diskusi Buku Reset Indonesia Dibubarkan Paksa, Jimly Asshiddiqie Minta Petugas Diberi Sanksi
Libur Sekolah, Program Makan Bergizi Gratis Tetap Fokus ke Ibu Hamil dan Balita