Ketika Penjilat Berkembang Biak, Martabat Bangsa Mulai Runtuh

- Selasa, 23 Desember 2025 | 06:25 WIB
Ketika Penjilat Berkembang Biak, Martabat Bangsa Mulai Runtuh

Sejarah sudah memberi pelajaran yang cukup tegas. Bangsa yang membiarkan para penjilat mendominasi ruang publik, lambat laun akan kehilangan generasi pejuangnya. Yang tersisa nanti hanyalah generasi pencari posisi dan jabatan, bukan penjaga nilai. Pada saat itu, kata “bangsa” mungkin masih sering diucapkan. Tapi fungsinya cuma sebagai alat legitimasi, bukan lagi sebagai panggilan pengabdian yang tulus.

Perlu digarisbawahi, bangsa bermartabat tidak anti perbedaan pendapat. Justru sebaliknya, dari perbedaan itulah kebijaksanaan seringkali muncul. Yang mereka tolak mentah-mentah adalah pengkhianatan yang dibungkus rapi dengan bungkus loyalitas palsu. Serta penolakan terhadap kepentingan pribadi yang bersembunyi di balik topeng kepentingan nasional. Di sinilah garis tegas harus ditarik. Tanpa ragu, dan tanpa kompromi.

Pada intinya, martabat adalah keberanian untuk bilang “tidak” saat semua orang memilih diam. Martabat adalah kesediaan menanggung risiko demi membela kebenaran. Dan martabat adalah kemampuan sederhana namun berat: menempatkan bangsa di atas diri sendiri. Tanpa semua ini, kemajuan hanyalah deretan angka semu. Pembangunan hanya akan menghasilkan bangunan fisik yang megah, tapi kosong jiwa.

Bangsa yang bermartabat sadar, hidupnya bukan cuma untuk hari ini. Ia memikul amanah sejarah yang berat dan punya tanggung jawab pada generasi yang belum lahir. Setiap kebohongan yang kita benarkan hari ini, akan jadi beban yang dipikul anak cucu kita esok. Setiap penjilat yang kita biarkan berkeliaran hari ini, adalah benih kehancuran untuk masa depan.

Maka, tugas menjaga martabat bangsa jelas bukan cuma pekerjaan segelintir elite atau pahlawan. Ini kewajiban kolektif kita semua. Dimulai dari hal paling dasar: kejujuran dalam pikiran, keteguhan dalam sikap, dan tentu saja, keberanian dalam tindakan nyata. Bangsa bermartabat tidak sibuk mencari-cari musuh. Tapi ia juga tidak takut kehilangan kenyamanan demi mempertahankan kebenaran.

Ujian terberatnya selalu sama: memilih antara kebenaran yang sunyi atau kebohongan yang ramai. Sejarah, pada akhirnya, hanya akan menghormati mereka yang memilih jalan pertama. Dan di situlah letak keluhuran bangsa yang sejati.

Tabik.


Halaman:

Komentar