Cahaya dari Panel Surya dan Tamparan Kesadaran di Tengah Duka Aceh

- Senin, 22 Desember 2025 | 09:40 WIB
Cahaya dari Panel Surya dan Tamparan Kesadaran di Tengah Duka Aceh

Belajar dari Ferry Irwandi: Dari Cabai Hingga Panel Surya. Tidakkah Kita Tertampar?

✍🏻 Nora Margaret (Bu Guru)

Informasi ini benar-benar membuat saya tercekat. Lagi-lagi, Ferry Irwandi menunjukkan bagaimana rasa empati bisa menjelma jadi aksi strategis yang luar biasa. Dia tak berhenti pada kesuksesan ide "distribusi cabai" yang dulu menyelamatkan petani dari kebangkrutan. Sekarang, langkahnya mengarah ke hal yang lebih mendasar: cahaya.

Bersama Kitabisa dan Warga Jaga Bumi, Ferry bukan cuma mengirim bantuan. Mereka sedang membangun infrastruktur energi darurat. Yang dirangkai adalah sistem panel surya off-grid berkapasitas 3300 WP. Ini nyata, bukan sekadar teori di atas kertas. Rangkaian teknologi yang dirakit dengan tangan sendiri itu, konon sekali isi dayanya bisa menopang listrik untuk 2–3 hari.

Bayangkan dampaknya. Posko pengungsian, puskesmas, atau sekolah darurat yang selama ini gelap gulita, bisa kembali berdenyut.

Namun begitu, hati ini remuk membaca laporan terbaru BNPB. Per Minggu, 21 Desember 2025, banjir dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar telah merenggut 1.090 jiwa. Seribu lebih nyawa. Angkanya sungguh memilukan. Masih ada 186 orang hilang, dan sekitar 7.000 lainnya terluka. Kerusakan fisiknya pun tak kalah hebat: 434 rumah ibadah hancur, ditambah 219 fasilitas kesehatan rusak parah.

Melihat dua kenyataan ini aksi heroik relawan di satu sisi, data kehancuran yang masif di sisi lain apakah kita tidak merasa tertampar? Bukan untuk marah-marah tanpa arah, tapi untuk benar-benar sadar.

Ferry dan kawan-kawan seakan memberi kita "kuliah lapangan" gratis tentang jadi warga negara yang solutif. Saat logistik macet, mereka bikin "Jembatan Udara Cabai". Pesawat datang bawa bantuan, pulangnya mengangkut hasil panen petani agar ekonomi desa tetap hidup.

Lalu, ketika listrik padam dan genset sulit bahan bakar, sementara infrastruktur PLN masih dalam proses perbaikan, mereka tidak cuma mengeluh dan menunggu. Mereka merakit Matahari panel surya 3300 WP itu untuk menerangi Puskesmas. Kalau ini berhasil, ini tamparan yang penuh kasih bagi kita semua. Bukti bahwa sains dan empati, bila disatukan, benar-benar bisa meringankan penderitaan.

Saya juga ingin ajak kita berpikir lebih jauh. Selain listrik dan pangan, masalah air bersih juga krusial. Riset menunjukkan kita tak perlu kirim ribuan botol plastik yang ujung-ujungnya jadi sampah. Teknologi seperti Filtrasi Portabel atau Reverse Osmosis mobile, yang kerap jadi inovasi kampus, bisa jadi solusi. Kirim alatnya, saring air banjir, warga dapat air minum sehat tanpa menimbulkan gunung sampah baru.

Di sinilah kita bisa belajar adab menyampaikan kritik. Lihatlah Ibu Connie Rahakundini Bakrie.

Atau lihat Pak Anies Baswedan.


Halaman:

Komentar