KH. Imam Jazuli, pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon yang juga pernah menjadi Pengurus PBNU periode 2010-2015, punya pandangan jelas soal siapa yang pantas menggantikan KH. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. Menurutnya, sosok yang tepat untuk mengisi posisi Penjabat Sementara (Pjs) Ketua Umum PBNU masa bakti 2025-2026 adalah KH. Zulfa Mustofa, atau yang lebih akrab disapa Gus Zulfa.
Latar belakang pendapat ini tak lepas dari situasi yang berkembang di tubuh PBNU. Rapat Harian Syuriyah PBNU di bawah Rais Aam KH. Miftachul Akhyar telah meminta Gus Yahya untuk mengundurkan diri dalam waktu 3 x 24 jam per 20 November 2025. Ada beberapa alasan di balik permintaan itu, termasuk isu kehadiran narasumber yang dikaitkan dengan Zionisme dan dugaan pelanggaran tata kelola keuangan organisasi.
Nah, kalau Gus Yahya benar-benar mundur atau diberhentikan, maka secara organisatoris, penunjukan Pjs Ketum akan mengacu pada AD/ART NU. Di sinilah nama Gus Zulfa muncul.
“Mengingat posisi KH. Zulfa Mustofa saat ini adalah salah satu Wakil Ketua Umum PBNU, maka dia berada dalam struktur kepengurusan tertinggi yang sah dan logis untuk mengisi posisi sementara tersebut,” kata Kiai Imam.
Ia menambahkan, setidaknya hingga mekanisme organisasi yang lebih permanen seperti Muktamar Luar Biasa atau Muktamar berikutnya dapat diatur.
Kiai Imam tak sekadar berpendapat. Ia menyodorkan enam alasan kuat mengapa Gus Zulfa dinilai layak memikul amanah itu.
Pertama, soal rekam jejak. Pengalaman organisasinya cukup matang. Gus Zulfa punya kiprah panjang di GP Ansor dan pernah menduduki berbagai jabatan di MUI DKI Jakarta sebelum akhirnya duduk sebagai Waketum PBNU.
“Beliau juga pernah aktif di lembaga Bahtsul Masail PBNU, forum penting yang membahas masalah-masalah keagamaan kontemporer, sebelum akhirnya ditarik ke jajaran Tanfidziyah,” ujarnya.
Kedua, kapasitas keilmuan. Di kalangan pesantren, Gus Zulfa dikenal sebagai ahli Ushul Fikih sekaligus penyair ulung. Gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Arudl (sastra Arab) dari UIN Sunan Ampel Surabaya menegaskan kapasitasnya. Ia masih keturunan Syekh Nawawi al-Bantani, sehingga punya basis pesantren yang kuat dan disegani.
Keahliannya dalam istinbath al-ahkam atau penetapan hukum Islam diakui luas. Ini didapatkannya lewat pendidikan di Pesantren Mathali'ul Falah, Kajen, selama enam tahun (1990-1996), lalu diperkuat dengan praktik langsung di lembaga-lembaga otoritatif seperti NU dan MUI.
Artikel Terkait
Diduga Perundungan Berujung Maut, Siswa SD di Pekanbaru Tewas Usai Dikeroyok Saat Kerja Kelompok
MUI Tetapkan Aturan Syariat untuk Dana Rp 50 Triliun di Rekening Tak Aktif
KPK Perlebar Jerat Korupsi RSUD Koltim, Tiga Tersangka Baru Ditahan
Bakamla RI dan Penjaga Pantai Yunani Perkuat Kolaborasi Keamanan Maritim