Kemunafikan, Musuh dalam Selimut yang Menggerogoti Bangsa

- Minggu, 23 November 2025 | 05:25 WIB
Kemunafikan, Musuh dalam Selimut yang Menggerogoti Bangsa

EDITORIAL JAKARTASATU: Kejujuran, Kekuatan Bangsa yang Sebenarnya

Catatan Tegas untuk Bangsa yang Beradab: Hentikan Kemunafikan dan Tegakkan Kejujuran. Itu Absolut.

Sebuah bangsa takkan pernah runtuh hanya karena miskin harta atau kurang pintar. Yang justru mengkhawatirkan adalah ketika kejujuran mulai ditinggalkan, sementara kemunafikan dibiarkan merajalela menjadi budaya. Inilah musuh sejati kita sikap yang tampak benar di muka umum, namun menyimpan kebohongan di balik layar. Mereka yang berkoar tentang moral, tapi melanggarnya sendiri demi kepentingan pribadi.

Kemunafikan harus diberantas sampai ke akar. Dan itu takkan terjadi kalau kita cuma menyentil pelakunya tanpa menyentuh inti persoalan: hilangnya integritas.

Di sisi lain, kejujuran adalah fondasi bangsa beradab. Bukan sekadar pemanis pidato atau topeng politik belaka. Ini adalah karakter asli Indonesia. Bayangkan, bangsa ini dibangun oleh para pejuang yang mempertaruhkan nyawa untuk sebuah amanah: kemerdekaan. Mereka berjuang bukan untuk memperkaya diri, melainkan menegakkan martabat.

Maka, sungguh memilukan jika hari ini ada yang tega menggadaikan martabat itu demi keuntungan sesaat. Itu sama saja mengkhianati darah para pendahulu.

Kemunafikan: Penyakit yang Menggerogoti Negara

Mari kita bicara blak-blakan. Kemunafikan merusak bangsa secara sistematis. Ia menggerogoti kepercayaan publik, merendahkan martabat pemimpin dan rakyat, menghancurkan rasa keadilan, menormalisasi kebohongan, dan membuat bangsa kehilangan kompas moral.

Begitu kata-kata tak lagi dipercaya, hukum dan aturan negara akan dianggap sekadar formalitas kosong. Contohnya? Sudah terlalu banyak.

Ada yang berteriak anti korupsi, tapi tangannya sendiri yang menggasak uang rakyat.

Ada yang bicara soal pelayanan publik, tapi hanya melayani kepentingan kelompoknya.

Ada yang kampanye mengatasnamakan rakyat, tapi begitu terpilih, lupa siapa yang memilihnya.

Ini bukan dusta biasa. Ini dusta yang dibungkus topeng kesalehan moral dan itu jauh lebih berbahaya.

Yang bikin miris, lingkungan kadang malah mendukung pelaku kemunafikan. Yang jujur dianggap naif, sementara yang curang dipuji "licin" dan "pintar". Kalau dibiarkan, bangsa ini akan terbiasa menukar moral dengan manipulasi, etika dengan kepentingan, kebenaran dengan kepalsuan. Itu bukan jalan bangsa besar. Itu jalan menuju kehancuran dari dalam.

Kejujuran: Kekuatan Sejati Kita

Sebenarnya, kita punya jati diri yang kuat: jujur adalah kehormatan. Dari rumah kecil di kampung hingga majelis adat, nilai ini selalu ditanamkan.

"Air beriak tanda tak dalam" artinya kata harus seirama dengan perbuatan.

"Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya" artinya kehilangan kepercayaan lebih buruk daripada kehilangan harta.

Itulah suara asli bangsa Indonesia!

Kita bukan bangsa yang toleran pada kepalsuan. Bukan bangsa yang mengajarkan tipu daya. Bukan bangsa yang menjadikan munafik sebagai norma. Jadi, ketika muncul perilaku munafik hari ini, itu jelas penyimpangan dari jati diri nasional.

Kejujuran bukan cuma soal berkata benar. Lebih dari itu, ia adalah tindakan yang konsisten dengan nilai, berani menolak salah meski sendirian, tidak menjual integritas demi keuntungan, dan tidak menipu hanya agar terlihat baik.

Prinsipnya sederhana: lebih baik rugi materi daripada rugi moral.

Keteladanan yang Bukan Pura-Pura


Halaman:

Komentar