Demokrasi dan liberalisme? Dua hal ini tak selalu berjalan beriringan. Ambil contoh demokrasi Athena kuno. Sistem itu memang mengedepankan partisipasi warga secara langsung, tapi tetap punya sejumlah batasan sosial dan moral yang ketat.
Di Amerika Serikat, perjalanan demokrasinya juga mengalami transformasi besar. Awalnya dibangun dengan fondasi nilai-nilai agama dan komunitas yang kuat. Namun, setelah Revolusi Industri dan menguatnya kapitalisme modern, demokrasi di sana bergeser ke arah liberal yang menekankan kebebasan hampir tanpa batas.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Para pendiri bangsa kita dari dulu sudah punya visi yang jelas. Mereka tak pernah membayangkan Indonesia menjadi negara liberal. Soekarno dengan tegas bilang, "Demokrasi kita bukan demokrasi Barat. Demokrasi kita adalah demokrasi gotong royong." Pancasila sendiri dirumuskan sebagai jalan tengah—menyeimbangkan kebebasan dengan moralitas, kepentingan rakyat, musyawarah, dan tentu saja nilai-nilai ketuhanan.
Bung Hatta punya pendapat serupa. Berkali-kali ia menolak liberalisme, baik di bidang ekonomi maupun politik. Menurutnya, paham itu tak cocok dengan struktur masyarakat Indonesia yang lebih komunal.
Namun begitu, belakangan muncul beberapa gejala yang mengkhawatirkan. Indonesia seperti mulai terdorong ke arah demokrasi liberal. Politik identitas kepentingan kelompok kecil kian mencolok, di mana suara mayoritas sering dianggap tak relevan jika bertentangan dengan ide kebebasan ala Barat. Media sosial jadi ruang kebebasan tanpa batas yang kerap menabrak etika, merusak kehormatan, bahkan menghina agama. Komersialisasi politik pun makin menjadi—demokrasi liberal cenderung memunculkan politik uang karena orientasinya memang persaingan bebas. Belum lagi pengaruh lembaga asing yang mendorong nilai-nilai demokrasi liberal sebagai standar universal, padahal belum tentu cocok dengan kultur kita.
Menurut Prof. Yudi Latif, ahli Pancasila, demokrasi Indonesia tak boleh mengabaikan nilai Ketuhanan dan musyawarah. "Demokrasi harus berakar pada kearifan lokal dan moralitas bangsa," tegasnya. "Demokrasi tanpa nilai hanyalah prosedur kosong."
Pandangan senada datang dari Samuel P. Huntington dalam "The Clash of Civilizations". Ia mengingatkan bahwa tak ada satu bentuk demokrasi yang cocok untuk semua bangsa. Setiap peradaban punya dasar nilai yang berbeda-beda. Amartya Sen, ekonom peraih Nobel, juga bilang demokrasi harus dikaitkan dengan nilai-nilai budaya setempat agar tidak kehilangan arah moral.
Dalam tradisi Islam, konsep syura atau musyawarah sebenarnya adalah bentuk demokrasi yang menghormati kebijaksanaan kolektif, tapi tetap dalam bingkai syariat. Imam Al-Mawardi dalam "Al-Ahkam As-Sulthaniyyah" menekankan pentingnya kepemimpinan yang tunduk pada nilai-nilai ilahi, bukan sekadar kehendak bebas manusia. Ibnu Taimiyah pun punya pandangan jelas: "Kekuasaan harus diarahkan untuk menegakkan keadilan, dan keadilan tidak akan tegak tanpa nilai-nilai agama."
Ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf Al-Qaradhawi menjelaskan bahwa demokrasi dalam Islam boleh diambil, asal tidak menabrak prinsip agama. "Islam menerima demokrasi dalam aspek kebebasan, musyawarah, dan keadilan," katanya. "Tetapi Islam menolak kebebasan absolut yang membolehkan apa yang diharamkan Allah."
Di Indonesia, KH. Hasyim Asy'ari juga pernah menegaskan bahwa umat Islam boleh mengambil sistem modern sepanjang tidak merusak akidah dan akhlak.
Pemikir politik Islam Indonesia, Mohammad Natsir, menolak demokrasi liberal karena dianggap mengeluarkan agama dari ruang publik. Sebagai gantinya, ia menawarkan konsep "theistic democracy" atau demokrasi bertuhan. "Demokrasi harus bertolak dari pengakuan akan kedaulatan Tuhan," ujarnya. "Kedaulatan rakyat berada dalam batas-batas hukum moral ilahiah."
Artikel Terkait
Mahasiswa Gugat UU MD3, Minta Rakyat Bisa Copat Wakil di DPR
Perseteruan Berdarah Pengamen Ondel-ondel Vs Ukulele di Koja
Kegelisahan di Lereng Semeru: Aktivitas Kembali Bergeliat di Bawah Bayang Awan Panas
Guguran Lahar Semeru Telan Puluhan Rumah, Evakuasi Terhambat Listrik dan Gelap