Suripto: Penjaga Kecemasan Moral di Titik-Titik Sunyi Sejarah Indonesia

- Rabu, 19 November 2025 | 05:50 WIB
Suripto: Penjaga Kecemasan Moral di Titik-Titik Sunyi Sejarah Indonesia

SURIPTO: JEJAK SEORANG YANG SELALU BERDIRI DI TITIK PALING SULIT

Oleh: Radhar Tribaskoro

Jejak Suripto tidak mudah ditemukan di halaman utama sejarah Indonesia. Namun langkahnya justru membentuk fondasi tersembunyi perjalanan republik ini. Ia muncul di momen-momen genting, ketika bangsa masih berjuang memahami jati dirinya, ketika keberanian lebih sering tampil sebagai kesunyian ketimbang sorak-sorai. Suripto memilih posisi-posisi tak populer, tepat di titik-titik tersulit, tempat satu keputusan dapat mengubah banyak nasib.

Dalam sejarah aktivisme Indonesia, Suripto adalah sebuah anomali. Bukan aktivis yang berteriak dari podium, ia justru hadir di tempat-tempat dimana risiko nyata—bukan retorika—sedang dipertaruhkan. Bukan politisi yang mencari sorotan, ia justru menguasai seni bekerja di lorong-lorong gelap kekuasaan. Bukan intelejen yang membanggakan misteri, ia paham betul bahwa republik kadang butuh penyelamat yang bekerja tanpa tepuk tangan.

Aktivis yang Tak Pernah Memutus Jarak dengan Nurani

Bagi generasinya, Suripto adalah aktivis yang acuh pada label. Baginya, aktivisme adalah tindakan nyata, bukan sekadar identitas. Ia membaca dinamika politik bukan sebagai panggung heroisme, melainkan pertarungan panjang menjaga kewarasan publik. Ia sadar, bangsa ini tak pernah kekurangan calon pahlawan, namun sering kehilangan orang yang rela bekerja dalam kesunyian.

Dalam sebuah percakapan, Suripto pernah mengutip kalimat bernas: "Di negeri ini, yang paling berbahaya bukanlah penguasa yang rakus, tetapi rakyat yang cepat puas." Dari ungkapan itu tergambar jelas posisinya—bukan sebagai moralis yang menghakimi, melainkan penjaga kewaspadaan kolektif. Ia mengingatkan, demokrasi mudah rapuh di tangan generasi yang lelah berpikir.

Dalam diskusi-diskusi terbatas, ia sering menunjukkan ketidaknyamanannya pada gaya perlawanan yang sentimental. Ia yakin aktivisme harus memadukan pembacaan struktural dan keberanian moral. Tanpa struktur, kemarahan hanya jadi bara yang mudah padam. Tanpa moral, analisis struktural berubah jadi sinisme akademis belaka. Di ruang antara keduanya itulah Suripto menemukan panggungnya.

Politisi: Seni Mengambil Risiko untuk Kepentingan Publik

Ketika memasuki dunia politik, banyak yang meragukan ketajaman Suripto akan bertahan. Dunia politik dikenal sebagai arena kompromi dan kepentingan, tempat idealisme mudah tergerus. Namun Suripto justru membuktikan politik bisa menjadi alat koreksi, bukan sekadar panggung ambisi.

Ia tak pernah menjadi politisi yang nyaman. Kursi empuk tak pernah membuatnya lupa bahwa tugas utama politisi adalah membangun masa depan orang lain. Saat bersuara lantang, itu bukan karena emosi, melainkan penolakan untuk melihat republik terperosok di lubang yang sama.

Ciri pembeda Suripto dari politisi kebanyakan adalah kecemasan moral yang selalu dibawanya dalam setiap keputusan. Di tengah iklim politik yang makin pragmatis, kecemasan moral sering dianggap kelemahan. Bagi Suripto, justru itulah kekuatannya.

Pernyataan yang kerap ia ulang: "Politik tanpa kecemasan moral akan membuat pemimpin kehilangan rasa takut kepada kesalahan."

Itulah yang mendorongnya selalu berada di garda depan untuk menegur, mengingatkan, dan mengoreksi—baik kepada kawan maupun lawan. Baginya, integritas bukan sekadar atribut pribadi, melainkan prasyarat agar negara tetap berdiri di fondasi yang kokoh.

Intelejen: Dari Ruang Gelap ke Ruang Terang

Sisi lain kehidupan Suripto adalah dunia intelejen. Banyak orang mengenalnya dari peran ini—dunia sunyi penuh risiko, yang sering mengubur nama pelakunya dalam arsip-arsip tak terbaca. Tapi Suripto berbeda. Ia bukan intelejen yang memelihara ketakutan. Ia lebih mirip analis yang memetakan risiko politik dan keamanan negara, lalu mengartikulasikannya dengan ketenangan seorang ilmuwan.

Dunia intelejen memberinya perspektif unik yang jarang dimiliki aktivis atau politisi. Ia belajar tentang kerasnya realitas, tentang bagaimana negara bisa runtuh bukan karena musuh eksternal, melainkan kelalaian internal. Ia paham, ancaman terbesar sering berasal dari budaya politik yang kehilangan disiplin moral.

Yang membuat Suripto dihormati adalah konsistensinya menggunakan pengetahuan intelejen untuk kepentingan publik. Ia menolak menjadikan informasi sebagai senjata membungkam lawan politik. Ia memilih menggunakan informasi sebagai alat memperbaiki negara, bukan merusaknya demi kekuasaan.

Dalam percakapan pribadi, ia kerap berujar: "Informasi itu seperti pisau. Di tangan orang benar, ia memotong belenggu; di tangan orang salah, ia membunuh karakter." Prinsip itulah yang dipegangnya hingga akhir.


Halaman:

Komentar