Integritas yang Bertahan di Tengah Kebisingan
Jika ada satu kata yang tepat menggambarkan Suripto, itu adalah keteguhan. Ia tak mudah goyah, tak terpesona kekuasaan, tak terseret arus. Ia bagai batu karang yang tidak memusuhi ombak, tapi juga tidak tunduk pada gelombang.
Banyak rekan kerjanya mengenang satu hal yang sama: Suripto tak pernah membiarkan persoalan politik menginjak-injak kemanusiaan. Ia tak pernah membiarkan perbedaan pandangan merusak persahabatan. Bahkan saat berseteru secara politik, ia tetap menjaga kemurnian niat. Ia tak pernah membenci orangnya; ia hanya menolak idenya.
Sikap itu semakin langka di zaman ketika perbedaan pandangan langsung berubah menjadi permusuhan pribadi, ketika argumen politik jadi alasan saling merendahkan, ketika ruang publik dipenuhi obsesi menang tanpa memedulikan kebenaran.
Suripto mengajarkan bahwa keberanian tak selalu tentang suara keras. Ia juga tentang keteguhan mempertahankan sudut pandang ketika seluruh dunia mendorong ke arah sebaliknya.
Jejak Seorang Guru Senyap
Bagi banyak generasi aktivis, Suripto adalah guru yang tak memaksa. Ia tidak mengajar dengan ceramah; ia mengajar dengan teladan. Ia tidak membesarkan murid; ia membesarkan keberanian. Ia tidak memberi instruksi; ia menunjukkan arah.
Banyak kisah kecil tentang Suripto yang tak pernah masuk pemberitaan, namun hidup dalam ingatan orang-orang yang disentuhnya. Kisah tentang caranya meredam konflik internal organisasi, caranya memberi nasihat tanpa pretensi, kemampuannya menenangkan ruangan panas hanya dengan satu kalimat jernih.
Dan ada satu kesan yang hampir semua orang bagikan: ia selalu hadir ketika dibutuhkan, namun tak pernah menuntut dihargai ketika tugas usai.
Warisan Nilai yang Tak Mudah Hilang
Mengenang Suripto hari ini bukan sekadar mengenang satu sosok. Ini tentang mengenang sebuah cara hidup. Cara memandang negara dengan rasa memiliki, bukan dendam. Cara memperjuangkan kebenaran tanpa ingin jadi pahlawan. Cara bekerja di titik-titik paling sepi, tempat yang tak dihuni tepuk tangan.
Kita hidup di masa ketika banyak hal bergerak cepat, namun arah sering kabur. Ketika teknologi melimpah, tapi kebijaksanaan menipis. Ketika politik makin keras, namun moral makin sunyi. Dalam situasi seperti ini, mengenang Suripto bukan nostalgia. Ini pengingat bahwa republik bertahan karena ada orang-orang yang rela berdiri di garis tak populer.
Ia mengingatkan bahwa demokrasi tak bisa hidup tanpa orang berani bersikap. Bahwa politik tak bisa berjalan tanpa orang berani menegur. Bahwa negara tak bisa diselamatkan tanpa orang yang memelihara kecemasan moral.
Selamat Jalan, Suripto
Kini Suripto telah pergi. Tapi orang-orang sepertinya tak pernah benar-benar pergi. Mereka tetap hidup dalam nilai-nilai yang ditinggalkan, dalam keberanian yang ditunjukkan, dalam integritas yang dipertahankan hingga akhir.
Dalam tradisi Jawa ada ungkapan: "Urip iku urup." Hidup adalah nyala. Suripto adalah salah satu nyala itu—nyala yang tak membakar, tapi menerangi; nyala yang tak berisik, tapi menunjukkan arah.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang makin gaduh, nyala itu mungkin tampak kecil. Justru karena kecil itulah ia menjadi penting. Pada akhirnya, sejarah suatu bangsa tak hanya dibuat oleh mereka yang duduk di panggung besar, melainkan juga oleh mereka yang tegak di tempat-tempat gelap dan sunyi.
Selamat jalan, Om Ripto. Engkau telah membuktikan bahwa keberanian tak selalu butuh panggung, dan bahwa integritas adalah satu-satunya warisan yang tak dapat dicuri waktu.
Cimahi, 17 November 2025
Artikel Terkait
BIN–Australia–Timor Leste Jalin Kolaborasi Intelijen, Pengamat: Sinyal Baru Geopolitik Indo-Pasifik
Kecerdasan Buatan Hidupkan Kembali Denyut Pasar Parit Besar Era 1970-an
Misteri Kematian Dosen UNTAG di Hotel, Perwira Polisi Jadi Pelapor Kunci
Klarifikasi KPU Surakarta: Berkas Ijazah Jokowi Utuh, Buku Agendanya yang Dimusnahkan