Muhamad Syauqillah, Ketua Program Studi Kajian Terorisme UI, menjelaskan munculnya ancaman ekstremisme baru seperti neo-Nazi, supremasi kulit putih, dan ideologi far-right yang bercampur dengan budaya internet. "Ini fenomena hibridisasi ideologi, dicampur-campur seperti gado-gado," ujarnya.
Meski FN menggunakan simbol-simbol dari pelaku teror global seperti Brenton Tarrant (penyerang masjid Christchurch) dan Alexandre Bissonnette (penyerang masjid Quebec), Syauqillah menegaskan bahwa pelaku bukan penganut ideologis tetapi hanya meminjam inspirasi metode kekerasannya.
Peran Komunitas Online dalam Radikalisasi
Polisi menemukan FN aktif mengakses situs-situs yang menampilkan kekerasan ekstrem sejak awal tahun. Menurut analisis, FN terhubung dengan True Crime Community (TCC), subkultur online yang mengagungkan pelaku penembakan sekolah dan membagikan konten kekerasan sebagai hiburan.
David Riedman, peneliti kasus penyerangan sekolah dari Idaho State University, menjelaskan hampir semua penyerang remaja dalam lima tahun terakhir terhubung dengan kelompok online yang menyebarkan white nationalism atau mengglorifikasi penyerangan sekolah.
"Tanda peringatan ketika remaja tergabung dalam komunitas online ini adalah apabila ia menggaungkan informasi yang mengglorifikasi penembakan massal, menunjukkan minat luar biasa terhadap kekerasan, atau mengagungkan rasisme terorganisir," jelas Riedman.
Faktor Pendorong dan Pencegahan
Survei SETARA Institute pada 2023 mengungkap 5% siswa SMA tergolong intoleran aktif, sementara 0,6% berpotensi terpapar ekstremisme - dua kali lipat dari survei 2016. Faktor pendorongnya meliputi keluarga, guru, teman sebaya, media sosial, dan pemahaman kebangsaan.
Halili Hasan, Direktur SETARA Institute, menekankan bahwa paparan digital menjadi berbahaya ketika remaja mengalami psychological grievance - rasa tersakiti, ketidakadilan, atau perundungan yang tidak terselesaikan. Kekerasan kemudian dianggap sebagai solusi ketika pelaku melihat lingkungan sekitarnya tidak memberikan harapan.
Para pakar merekomendasikan pendekatan deteksi dini di sekolah, termasuk memperhatikan perubahan perilaku siswa, coretan-coretan yang mencurigakan, dan meningkatkan kepedulian teman sebaya. Guru dan orang tua perlu lebih peka terhadap tanda-tanda peringatan dini, sementara regulasi tentang tata kelola konten digital perlu diperkuat.
Dengan memahami kompleksitas ancaman ekstremisme baru ini, diharapkan tragedi seperti ledakan SMAN 72 tidak terulang di masa depan, melindungi generasi muda Indonesia dari paparan ideologi kekerasan yang menyamar dalam berbagai bentuk.
Artikel Terkait
Serangan Rusia Hancurkan TK di Ukraina, 5 Tewas dan Kapal Gas Turki Terbakar
Gempa Bandung Hari Ini: Pusat Gempa 22 Km Barat Daya, Getaran Terasa Hingga MMI III
Risiko Longsor Tertinggi di Jateng: Data BNPB Sebut Banjarnegara & Cilacap Paling Rawan
Kunjungan Kerja Menko Kumham Yusril Ihza Mahendra ke Jepang Perkuat Kerja Sama Bilateral