Mantan Komisaris Polisi Inggris, Sir Robert Peel, pernah menyatakan bahwa polisi adalah masyarakat dan masyarakat adalah polisi. Prinsip ini menekankan bahwa polisi bukanlah kekuatan yang berada di atas masyarakat, melainkan bagian integral darinya. Prinsip fundamental ini seringkali terlupakan ketika akhlak tidak menjadi prioritas.
Lemahnya Sistem Pengawasan Internal
Komisi Reformasi Polri menemukan bahwa Propam tidak memiliki independensi yang memadai untuk mengawasi pelanggaran etik secara efektif. Banyak laporan pelanggaran justru ditangani oleh pejabat yang memiliki kedekatan struktural dengan pelaku pelanggaran.
Menurut pakar hukum pidana, Prof. Romli Atmasasmita, masalah yang dihadapi Polri bersifat struktural. Pengawasan internal tidak boleh dipimpin oleh orang yang memiliki hubungan struktural dengan pelanggar. Tanpa menjaga jarak yang tepat, proses pengawasan hanya akan menjadi formalitas belaka. Pernyataan ini menjelaskan mengapa banyak kasus pelanggaran hanya diproses setengah hati atau akhirnya menghilang tanpa penyelesaian yang tuntas.
Langkah Strategis Reformasi Akhlak Polri
Untuk memperbaiki kondisi Polri secara fundamental, pendidikan akhlak tidak boleh lagi dipandang sebagai hiasan kurikulum, melainkan harus menjadi strategi nasional. Reformasi akhlak Polri perlu dilakukan melalui pendekatan komprehensif:
- Integrasi Pelatihan Akhlak sejak pendidikan dasar kepolisian, bukan hanya penguatan mental, tetapi pendidikan karakter sistematis yang mengakar pada nilai kejujuran, empati, dan anti-korupsi.
- Keteladanan Moral dari Pimpinan karena etika hanya akan efektif apabila dipraktikkan secara konsisten oleh para pemimpin. Tanpa contoh nyata dari atas, instruksi moral tidak akan digubris.
- Pengawasan Internal yang Independen dengan memperkuat Propam melalui mekanisme audit moral, evaluasi berjenjang, dan pengawasan terbuka.
- Lingkungan Kerja yang Menghalangi Pungli karena budaya organisasi yang mendukung integritas terbukti lebih efektif daripada sekadar pemberian sanksi, dengan cara mencegah pelanggaran sebelum terjadi.
Pandangan Khazanah Islam tentang Akhlak dan Kekuasaan
Dalam tradisi Islam, kekuasaan tanpa akhlak diidentifikasi sebagai zulm atau kezaliman. Berbagai pemikir Islam telah memberikan pandangan mendalam tentang hubungan antara akhlak dan kekuasaan:
Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa kerusakan negara berawal dari rusaknya pemimpin, yang disebabkan oleh rusaknya ulama akibat cinta dunia dan jabatan.
Umar bin Abdul Aziz menegaskan bahwa kekuasaan tidak akan baik kecuali dengan kebenaran, dan kebenaran tidak akan tegak tanpa akhlak.
Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa jika rakyat berbuat buruk, maka lihatlah bagaimana perilaku para pemimpinnya, karena manusia cenderung mengikuti pemimpin mereka.
Buya Hamka dalam bukunya Lembaga Budi mengingatkan bahwa jabatan adalah ujian, dan sebaik-baik pemimpin adalah yang budi pekertinya lebih tinggi daripada kekuasaannya.
KH. Hasyim Asy'ari dalam Adabul 'Alim wal Muta'allim menegaskan bahwa akhlak adalah mahkota, dan tanpa akhlak, ilmu menjadi fitnah sedangkan jabatan menjadi dosa.
Kesimpulan: Reformasi Harus Dimulai dari Hati
Reformasi Polri tidak boleh berhenti pada digitalisasi, pembuatan SOP baru, atau restrukturisasi organisasi. Semua upaya tersebut akan sia-sia tanpa diiringi reformasi akhlak yang mendalam. Budaya korup, pungli jabatan, penyalahgunaan wewenang, hingga kekerasan berlebihan merupakan gejala dari satu akar masalah utama: melemahnya akhlak aparat. Jika Polri ingin kembali memperoleh kepercayaan masyarakat, reformasinya harus dimulai dari dalam hati setiap anggotanya.
Artikel Terkait
Kecelakaan Maut Palembang: 2 Tewas Tabrak Truk Antre Solar Subsidi, Ini Kronologi & Imbauan Polisi
KPK Periksa 10 Direktur Travel Haji: Dugaan Korupsi Kuota Rugikan Negara Rp 1 Triliun
Revitalisasi Benteng Kuto Besak: Wali Kota Ancam Sanksi Ganti Rugi 10x Lipat Bagi Perugikan Wisatawan
Honorer Damkar OKU Selatan Diduga Cabuli Pelajar 15 Tahun, Ini Kronologinya