Budaya Diam di Sekolah: Akar Masalah Perundungan dan Cara Mengatasinya

- Jumat, 14 November 2025 | 07:06 WIB
Budaya Diam di Sekolah: Akar Masalah Perundungan dan Cara Mengatasinya

Habituasi kekuasaan membuat hierarki sosial terasa alamiah. Ketika terjadi ketidakadilan, respons yang sering muncul adalah nasihat untuk "bersabar" atau "menyesuaikan diri". Kekerasan emosional bahkan fisik kemudian dibungkus dengan dalih sebagai bagian dari "pembentukan mental". Padahal, yang terbentuk bukanlah ketangguhan, melainkan kepasrahan dan ketundukan.

Dalam lingkungan seperti ini, korban diajarkan untuk mengalah, saksi mata belajar untuk tidak peduli, dan pelaku memahami bahwa kekuasaan dapat dipertahankan tanpa konsekuensi. Perlahan-lahan, sekolah berubah dari tempat belajar nilai-nilai kemanusiaan menjadi arena reproduksi status sosial.

Langkah Konkret Mengubah Budaya Diam di Sekolah

Mengubah kondisi ini memerlukan langkah kebijakan yang sistematis, bukan sekadar imbauan moral. Beberapa pendekatan yang dapat dipertimbangkan antara lain:

  • Audit Budaya Pendidikan: Evaluasi sekolah seharusnya tidak hanya berfokus pada fasilitas dan kurikulum, tetapi juga mencakup audit relasi kekuasaan. Apakah suara siswa didengarkan? Apakah konflik diselesaikan secara adil? Apakah setiap anak diperlakukan setara tanpa memandang latar belakang sosial?
  • Mekanisme Pengaduan Independen: Siswa perlu memiliki saluran pengaduan yang independen, terpisah dari struktur kekuasaan yang mereka takuti. Model pengawasan eksternal semacam ombudsman sekolah dapat menjadi solusi.
  • Restrukturisasi Pendekatan Pendidikan: Sekolah perlu beralih dari konsep ketangguhan berbasis tekanan menuju ketangguhan berbasis empati. Program pembelajaran sosial-emosional harus diimplementasikan sebagai praktik sehari-hari, tercermin dari cara guru berkomunikasi, penyelesaian konflik, dan pengambilan keputusan.

Pertanyaan mendasar yang perlu direfleksikan adalah: warisan apa yang ingin kita berikan kepada generasi muda? Mempertahankan budaya diam sama dengan mewariskan keyakinan bahwa kekuasaan lebih penting daripada kemanusiaan. Sebaliknya, memutus rantai kebisuan berarti mengajarkan bahwa martabat setiap manusia adalah harga mati. Pada akhirnya, inilah esensi pendidikan yang sejati.


Halaman:

Komentar