Pemerintah menyatakan bahwa kemitraan antara negara dan pelaku swasta merupakan bentuk kolaborasi yang diperlukan untuk mencapai target kemandirian energi nasional. Namun, pertanyaan kritis muncul dari masyarakat: sejauh mana kolaborasi ini didasarkan pada pertimbangan objektif untuk kepentingan bangsa, dan bukan karena faktor kedekatan personal? Dalam konteks negara dengan catatan panjang praktik patronase, sulit untuk mengabaikan kesan bahwa arah kebijakan sering kali dipengaruhi oleh jaringan kekerabatan, bukan semata-mata prinsip meritokrasi.
Keadaan ini seolah menggambarkan pola berulang di mana hubungan darah dan kedekatan bisnis kerap menjadi penentu arah proyek-proyek strategis negara, mengesampingkan analisis teknis yang mendalam. Pemerintahan yang diharapkan membawa pembaruan justru dianggap terlibat dalam dinamika lama, yaitu pertemuan antara kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi tertentu.
Pada intinya, penilaian publik tidak hanya didasarkan pada retorika pencapaian di bidang ketahanan pangan atau energi, tetapi juga pada pertanyaan tentang pihak mana yang sebenarnya memperoleh manfaat terbesar. Dalam sorotan ini, hubungan antara figur pengusaha dan pejabat tinggi tersebut menjadi contoh nyata betapa batas antara kekuasaan politik dan aktivitas bisnis dianggap semakin samar.
Artikel Terkait
Amnesti & Abolisi 2024: Pemerintah Kaji Ulang, Fokus ke Kasus Narkotika
Polisi Pastikan Anak Suku Anak Dalam Jambi yang Viral Bukan Kenzie Alfarezzi
Soeharto Pahlawan Nasional: Pro-Kontra, Luka HAM, dan Warisan Orde Baru yang Masih Diperdebatkan
Anak Speech Delay 16 Tahun Diselamatkan dari Sekapan & Diduga Akan Dijual di Bekasi