"Ketika kami mendampingi anak-anak yang terlibat balap liar, geng motor, maupun kasus lainnya, hampir semuanya berawal dari komunikasi lewat handphone," ungkapnya.
Yang lebih serius, Pemkot bahkan bersinergi dengan Densus 88 Antiteror untuk memantau paparan radikalisme dan konten kekerasan ekstrem. Ada satu kasus yang diungkap Eri, di mana seorang anak belajar cara menyakiti hingga membunuh orang lain lewat tutorial digital. Motifnya? Diduga karena akumulasi rasa sakit hati akibat sering di-bully, lalu mencari pelampiasan dendam di internet.
"Kenyataan pahit ini sering kali tidak disadari oleh orang tua karena kesibukan mereka," tambah Eri. Tanpa disadari, gawai jadi pengganti peran pengasuhan. Itulah mengapa Pemkot merasa perlu ambil langkah tegas, agar orang tua kembali mengambil alih peran sentralnya.
Namun begitu, aturan ini tidak disertai sanksi hukuman yang represif. Pendekatannya lebih ke edukasi dan pembentukan karakter. Untuk mendukungnya, Pemkot menyiapkan sejumlah program pendampingan. Ada pelatihan buat guru dan orang tua, saluran pengaduan yang mudah diakses, serta program seperti Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH) dan penguatan Kampung Pancasila.
"Handphone tidak bisa menggantikan peran orang tua. Anak-anak kita adalah aset masa depan Surabaya. Jika tidak kita jaga bersama, dampaknya akan terlihat di masa depan," tegas Eri.
Harapannya, dengan pengawasan yang tepat, anak-anak bisa belajar mengontrol diri. Mereka akan paham mana yang benar dan salah seiring bertambah usia. Tapi selama masih dalam masa tumbuh kembang, tugas menjaga dan membimbing ada di pundak orang tua dan pemerintah. Inilah upaya Surabaya menyiapkan generasi penerus yang berkarakter, bijak berteknologi, dan tentu saja, berlandaskan nilai-nilai luhur bangsa.
Artikel Terkait
Distilasi: Kunci Air Murni untuk Ginjal Sehat dan Tubuh Optimal
Stres dan Rambut Rontok: Ternyata Ini Hubungannya Menurut Ahli
Gilang Dirga Berduka, Ayahanda Wendi Indra Wafat di Penghujung Tahun
Inara Rusli Tegaskan Patuhi Putusan MA, Pilih Damai di Tengah Gejolak