Di tengah derasnya arus teknologi, banyak orang tua yang mulai gelisah. Pertanyaan besarnya: bagaimana sih sebenarnya mengasuh anak di era kecerdasan buatan atau AI ini? Tak jarang, coding langsung dianggap sebagai jawabannya, sebuah keterampilan yang kini banyak diajarkan di sekolah dengan harapan bisa menjawab tantangan zaman.
Namun begitu, ada pandangan lain yang menarik. Dalam International Symposium on ECED 2025 yang diadakan Tanoto Foundation di Jakarta, Rabu (17/12), Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Prof. Stella Christie justru memberikan perspektif yang berbeda. Menurutnya, kita tidak perlu membentuk anak-anak untuk menjadi seperti mesin. Kekuatan manusia, kata dia, justru terletak pada cara berpikir dan kemampuannya bersosialisasi.
Stella Christie: AI Bukan Pengganti Pikiran Anak
Stella membeberkan sebuah riset dari MIT, The Massachusetts Institute of Technology. Penelitian itu membandingkan cara belajar; satu kelompok tanpa teknologi, satu pakai search engine, dan satunya lagi bergantung penuh pada AI. Hasilnya cukup mengejutkan. Ternyata, ketergantungan total pada AI justru menurunkan performa kognitif mahasiswa. Temuan ini jadi bukti nyata bahwa proses berpikir manusia tak boleh diambil alih sepenuhnya oleh mesin.
“Kalau anak cuma diajar untuk meniru AI, ya mereka nggak akan pernah bisa melebihi kecerdasan AI itu sendiri,” ujar Stella.
Kekuatan Otak Anak Ada pada Cara Berpikir, Bukan Menghafal
Lebih dalam, Stella menjabarkan bahwa kunci pendidikan sebenarnya terletak pada mengasah kemampuan yang cuma dimiliki manusia. Misalnya, memahami pola, membandingkan struktur, atau menemukan hubungan antar informasi. Belajar lewat eksplorasi lingkungan sekitar juga penting.
Ia lalu bercerita tentang penelitian yang dilakukannya dulu di Tsinghua University, China. Anak usia dua sampai tiga tahun yang awalnya tak paham pola, ternyata bisa mengenali pola sederhana setelah diajari. Kecakapan semacam ini, menurutnya, berkaitan erat dengan kreativitas dan jadi dasar inovasi ilmiah kelak.
Intinya, belajar bukan cuma soal menghafal atau menimbun informasi. Yang utama justru bagaimana memproses informasi itu dan menemukan maknanya. Itulah mengapa stimulasi pengalaman nyata, interaksi sosial, dan bermain, tetap jauh lebih krusial untuk anak usia dini ketimbang menghabiskan waktu di depan layar atau latihan teknis yang kaku.
Artikel Terkait
Brigitte Bardot, Ikon Prancis yang Pernah Bantah Kabar Kematiannya, Tutup Usia
2025: Tahun Penuh Cincin dan Gaun Pengantin di Dunia Selebriti
Cegah Diabetes Sejak Dini, SDN Sukadami Gencar Edukasi Jajanan Sehat
Bayi Alami Syok Anafilaktik Usai MPASI Pertama, Dokter Ingatkan Bahaya Alergi Makanan