Sarah mengatakan akhir-akhir ini polisi menjadi sorotan terutama dalam aspek kebebasan sipil. Sehingga aturan mengenai kewenangan Polri untuk memblokir dan memutus akses internet menjadi perhatian publik.
"Ini akan berpotensi kontroversial dan resisten, terutama jika lesson-learned kasus blokir akses internet di Papua pada 2019 terulang," ujar dia kepada Tempo, Rabu malam, 29 Mei 2024.
Seperti diketahui, pemerintah sempat memblokir akses internet di Papua dan Papua Barat pada 21 Agustus 2019, dan baru dibuka bertahap sejak 4 September 2019. Ini menyusul pecahnya kerusuhan di daerah tersebut. Pembokiran ini berbuntut panjang.
Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN pada November 2019. Hasilnya, majelis hakim menyatakan Presiden Jokowi dan Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara, bersalah.
"Seharusnya kontennya yang di-take down, bukan akses internet," ucap Sarah.
Dia kembali menegaskan, jika kasus blokir akses internet terulang, maka resistensinya akan besar untuk polisi, bahkan untuk negara. Dia mempertanyakan, apakah dengan memutus akses intenet, situasi keamanan akan semakin kondusif?
Sarah menuturkan, pemutusan akses internet harus melalui proses berlapis, ketat, atas persetujuan DPR, serta dapat dipertanggungjawabkan. "Para pemangku kepentingan harus betul-betul memperhatikan dan mempertimbangkan ulang usulan ini," ujar dia.
Artikel Terkait
Jimly dan Megawati Bahas Amendemen Konstitusi dalam Pertemuan Tertutup
Gudang Limbah Oli Ilegal di Gunung Putri Ludes Dilahap Api, Didahului Ledakan Keras
Bantuan Prioritas untuk Balita dan Lansia Tiba di Pengungsian Semeru
Gibran Disambut Tarian Pantsula yang Enerjik di Bandara Afrika Selatan