Guyon Hakim MK Lihat Tebalnya Dokumen Milik Golkar: Bisa Jadi Bantal untuk Tidur Ini

- Senin, 13 Mei 2024 | 14:15 WIB
Guyon Hakim MK Lihat Tebalnya Dokumen Milik Golkar: Bisa Jadi Bantal untuk Tidur Ini



MURIANETWORK.COM  - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat membuat para peserta sidang tertawa saat melempar guyonan terkait dokumen milik Partai Golkar.


Hal itu terjadi pada sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Legislatif, di ruang sidang gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (13/5/2024).


Momen itu bermula saat Hakim Konstitusi Arief Hidayat hendak mempersilakan kuasa hukum Golkar selaku pihak terkait perkara nomor 277, Ahmad Suherman, untuk menyampaikan keterangannya dalam persidangan.




Arief Hidayat menyoroti sebuah map atau satu bundel berkas milik Golkar yang menurutnya sangat tebal. Adapun dokumen-dokumen di situ terdiri dari keterangan Golkar dan bukti-buktinya.



"Ini keterangannya, keterangan pihak terkait dan bukti semuanya dijadikan satu ya," kata Arief kepada Suherman, dalam sidang, Senin ini.



Melihat hal itu lantas Arief berguyon bahwa saking tebalnya map berisi dokumen itu sepertinya bisa dijadikan bantal untuk tidur. Ucapan mantan Ketua MK itu pun disambut gelak tawa peserta sidang.


"Tebal sekali, jadinya bisa buat tidur ini, bantal tidur ini punya Golkar, pihak terkait," ucap Arief tersenyum lebar.


Selanjutnya, Arief menyampaikan kepada kuasa hukum Partai Golkar agar keterangan dan bukti-bukti yang mereka ajukan sebaiknya dipisah.



"Sebetulnya dipisah antara keterangannya dan daftar bukti. Ini tidak dipisah, jadi satu," ucapnya.


Usai momen itu berlangsung, Arief kemudian mempersilakan Suherman menyampaikan keterangan dari Golkar.


Adapun keterangan dari Golkar dalam sidang itu, pada intinyq membantah tuduhan Gerindra, bahwa mereka melakukan penambahan suara untuk pengisian keanggotaan DPRD di 4 tempat pemungutan suara (TPS) di daerah pemilihan atau dapil Musi Rawas III Provinsi Sumatera Selatan.


Suherman mengatakan, dalil Gerindra soal penambahan suara Golkar di TPS 3 Desa Trianggun Jaya sebanyak 13 suara adalah tidak benar. Karena suara pihak terkait berdasarkan c.hasil TPS Trianggun Jaya yang benar adalah sebanyak 32 suara.


Kemudian, katanya, dalil Gerindra mengenai penambahan suara Golkar di TPS 6 Desa Semangus Kecamatan Muara Lakitan sebanyak 3 suara adalah tidak benar. Karena suara Golkar berdasarkan c.hasil TPS 6 desa semangus yang benar adalah sebanyak 58 suara.



Selanjutnya, dalil Gerindra soal penambahan suara Golkar di TPS 6 Desa Sungai Pinang sebanyak 1 suara adalah tidak benar. Karena berdasarkan c.hasil yang benar, suara Golkar adalah sebanyak 129 suara.


Lalu, Suherman juga menuturkan, dalil Gerindra bahwa terjadi penambahan suara Golkar di TPS 10 Desa Sungai Pinang sebanyak 1 suara adalah tidak benar, karena suara Golkar berdasarkan c.hasil pada TPS a quo adalah 144.


Suherman menyebut, telah terjadi kesalahan penghitungan atau penjumlahan dalam formulir c.hasil salinan pada 4 TPS tersebut, dimana hal itu tidak hanya terjadi pada perolehan suara Golkar saja, tetapi juga terjadi pada pemohon (Gerindra) dan partai politik lainnya.


"Sebagaimana terkonfirmasi pada perbandingan perolehan suara Partai Golkar dengan Partai Gerindra dalam formulir c.hasil salinan TPS 3 Desa Trianggun Jaya dengan formulir c.hasil TPS 3 Trianggun Jaya, dimana perolehan suara pihak terkait seharusnya 32 namun tertulis 19," kata Suherman, dalam persidangan, Senin ini.


"Demikian halnya suara pemohon (Gerindra), seharusnya 47 suara namun tertulis pada kolom penjumlahan sebanyak 17 suara," sambungnya.


Lebih lanjut, Suherman mengatakan, apabila mengacu pada dalil Gerindra yang didasarkan c.hasil salinan TPS tersebut yang hanya meminta dilakukan pengurangan suara bagi Golkar, jelas hal ini merupakan ketidakadilan bagi Golkar.


Menurut Suherman, seharusnya Gerindra menjelaskan soal terjadinya perbaikan penjumlahan yang diberlakukan untuk perolehan suara mereka, yang tidak hanya terjadi kepada pihak terkait (Golkar) dan partai politik lainnya.


"Maka apabila mengacu pada c.salinan disandingkan c.hasil dan d.hasil kecamatan pada TPS-TPS yang dipermasalahkan tersebut, konsekuensinya pemohon juga harus dikurangi perolehan suaranya pada TPS tersebut. Hal ini menunjukkan pemohon tidak konsisten pada dalil dan bukti-bukti yang ada," ucapnya.


Oleh karena itu, menurut Suherman, dalil permohonan Gerindra yang menyatakan terjadinya perbedaan atau penambahan suara Golkar sebanyak 18 suara, yang mempengaruhi perolehan kursi ketiga pemohon untuk pengisian anggota DPRD Kabupaten Musirawas dapil III adalah dalil tanpa bukti dan mengada-ngada, sehingga beralasan menurut hukum Mahkamah menolak permohonan mereka


Sumber: Tribunnews

SEBELUMNYA

Komentar

Artikel Terkait

Rekomendasi

JOKO Widodo alias Jokowi sudah lengser. Tak lagi punya kekuasaan. Presiden bukan, ketua partai juga bukan. Di PDIP, Jokowi pun dipecat. Jokowi dipecat bersama anak dan menantunya, yaitu Gibran Rakabuming Raka dan Bobbby Nasution. Satu paket. Anak bungsu Jokowi punya partai, tapi partainya kecil. Yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai gurem ini tidak punya anggota di DPR RI. Di Pemilu 2024, partai yang dipimpin Kaesang ini memperoleh suara kurang dari empat persen. Pada posisi seperti ini, apakah Jokowi lemah? Jangan buru-buru menilai bahwa Jokowi lemah. Lalu anda yakin bisa penjarakan Jokowi? Sabar! Semua ada penjelasan ilmiahnya. Semua ada hitung-hitungan politiknya. Manusia satu ini unik. Lain dari yang lain. Langkah politiknya selalu misterius. Tak mudah ditebak. Publik selalu terkecoh dengan manuvernya. Anda tak pernah menyangka Gibran jadi walikota, lalu jadi wakil presiden sebelum tugasnya sebagai walikota selesai. Anda tak pernah menyangka Kaesang jadi ketum PSI. Prosesnya begitu cepat. Tak ada yang prediksi Airlangga Hartarto mundur mendadak dari ketum Golkar. Anda juga tak pernah menyangka suara PDIP dan Ganjar Pranowo dibuat seragam yaitu 16 persen di Pemilu 2024. Persis sesuai yang diinginkan Jokowi. Anda nggak pernah sangka UU KPK direvisi. UU Minerba diubah. Desentralisasi izin tambang diganti jadi sentralisasi lagi. Omnibus Law lahir. IKN dibangun. PIK 2 jadi PSN. Bahkan rektor universitas dipilih oleh menteri. Ini out of the box. Nggak pernah ada di pikiran rakyat. Tapi, semua dengan begitu mudah dibuat. Mungkin anda nggak pernah berpikir mobil Esemka itu bodong. Anda juga nggak pernah menyangka ketua FPI dikejar dan akan dieksekusi oleh aparat di jalanan. Juga nggak pernah terlintas di pikiran ada Panglima TNI dicopot di tengah jalan. Ini semua adalah langkah out of the box. Tak pernah terlintas di kepala anda. Di kepala siapa pun. Ketika anda berpikir Jokowi melemah pasca lengser, ternyata orang-orang Jokowi masuk kabinet. Jumlahnya masih cukup banyak dan signifikan. Ketua KPK, Jaksa Agung dan Kapolri sekarang adalah orang-orang yang dipilih di era Jokowi. Ketika anda tulis Adili Jokowi di berbagai tempat, Kaesang, anak Jokowi justru pakai kaos putih bertuliskan Adili Jokowi. Pernahkah Anda menyangka ini akan terjadi? Teriakan Adili Jokowi kalah kuat gaungnya dengan teriakan Hidup Jokowi. Ini tanda apa? Jelas: Jokowi masih kuat dan masih punya kesaktian. Semoga pemimpin zalim seperti Jokowi Allah hancurkan. inilah doa sejumlah ustaz yang seringkali kita dengar. Apakah Jokowi hancur? Tidak! Setidaknya hingga saat ini. Esok? Nggak ada yang tahu. Dan kita bukan juru ramal yang pandai menebak masa depan nasib orang. Kalau cuma 1.000 sampai 2.000 massa yang turun ke jalan untuk adili Jokowi, nggak ngaruh. Ngaruh secara moral, tapi gak ngaruh secara politik. Beda kalau satu-dua juta mahasiswa duduki KPK, itu baru berimbang. Emang, selain 1998, pernah ada satu-dua juta mahasiswa turun ke jalan? Belum pernah! Massa mahasiswa, buruh dan aktivis saat ini belum menemukan isu bersama. Isu Adili Jokowi tidak terlalu kuat untuk mampu menghadirkan satu-dua juta massa. Kecuali ada isu lain yang menjadi triggernya. Contoh? Gibran ngebet jadi presiden dan bermanuver untuk menggantikan Prabowo di tengah jalan, misalnya. Ini bisa memantik kemarahan massa untuk terkonsentrasi kembali pada satu isu. Contoh lain: ditemukan bukti yang secara meyakinkan mengungkap kejahatan dan korupsi Jokowi, misalnya. Ini bisa jadi trigger isu. Ini baru out of the box vs out of the box. Tagar Adili Jokowi bisa leading. Kalau cuma omon-omon, ya cukup dihadapi oleh Kaesang yang pakai kaos Adili Jokowi. Demo Adili Jokowi lawannya cukup Kaesang saja. Jokowi terlalu tinggi untuk ikut turun dan menghadapinya. Sampai detik ini, Jokowi masih terlalu perkasa untuk dihadapi oleh 1.000-2.000 massa yang menuntutnya diadili. rmol.id *Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Terkini