Ucap Ibrahim.
Dia berharap wacana pencabutan itu tidak jadi realitas. Kondisi ekonomi dalam negeri, menurutnya, belum stabil benar. Insentif masih dibutuhkan untuk membujuk masyarakat beralih dari fosil ke listrik. Pola adopsinya pun masih mengandalkan insentif sebagai pendorong utama.
“Baru setelah itu berkebutuhan. Jadi pertama insentif dulu, kedua adalah kebutuhan,”
Jelasnya.
Faktanya, pengguna mobil listrik di Indonesia saat ini masih terbatas pada segmen tertentu. Kalau insentif dicabut di fase yang masih rentan ini, risiko besar mengintai: masyarakat bisa kembali memilih mobil berbahan bakar minyak. Ibrahim punya analogi yang pas. Perkembangan industri ini ibarat proses tumbuh kembang manusia, butuh tahapan.
“Ada persiapan, ada pertumbuhan, ada perkembangan, ada perdewasaan. Pada saat sudah dewasa, di situlah pemerintah baru mencabut insentif,”
Demikian paparnya.
Jadi, pesannya jelas. Setiap keputusan soal insentif kendaraan listrik harus mempertimbangkan banyak hal. Tidak cuma kondisi pasar domestik yang masih bayi, tapi juga gelombang dinamika global yang tak pernah pasti. Tujuannya satu: kebijakan yang lahir nanti tetap selaras dengan kebutuhan ekonomi nasional jangka panjang, bukan sekadar wacana sesaat.
Artikel Terkait
Akses Utama Aceh-Sumut Kembali Dibuka, Lintas Tengah Masih Diperbaiki
Jawa Timur Jadi Penentu Swasembada Gula, Target 3 Juta Ton pada 2026
Pascabencana, Mendikbud Siapkan Tiga Skenario Belajar untuk Siswa di Tiga Provinsi
Gempa Dangkal M 4,5 Guncang Bener Meriah, Getaran Terasa Kuat