Pendekatan yang didasari dendam sejarah, menurut Sahmin, hanya akan memperpanjang polarisasi yang seharusnya sudah berakhir sejak era reformasi. Dia menekankan pentingnya teladan dari para pemimpin yang mampu memelihara persaudaraan kebangsaan di atas perbedaan politik.
Sahmin menyoroti contoh-contoh positif dari tokoh-tokoh nasional seperti Gus Dur yang memulihkan kehormatan para tokoh yang sebelumnya dianggap lawan, Taufiq Kiemas yang memperjuangkan konsep Bhinneka Tunggal Ika, serta Presiden Prabowo yang menunjukkan kebesaran hati dengan merangkul semua pihak.
Makna Gelar Pahlawan Nasional
Gelar pahlawan nasional bagi Soeharto, menurut Sahmin, tidak harus dimaknai sebagai pembenaran atas semua kebijakan Orde Baru. Sebaliknya, ini merupakan pengakuan objektif terhadap jasa-jasanya dalam pembangunan bangsa.
"Rekonsiliasi bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi menatap ke depan dengan kesadaran bahwa setiap pemimpin, termasuk Soeharto, punya kontribusi yang tak bisa dihapus begitu saja," tegas Sahmin.
Dia menambahkan bahwa bangsa yang matang adalah bangsa yang tidak menutup mata terhadap sejarah, tetapi memilih untuk mengakui jasa, mengoreksi kesalahan, lalu melangkah bersama tanpa dendam.
Momentum Kedewasaan Politik Bangsa
Sahmin menilai momentum ini seharusnya menjadi ajang bagi bangsa Indonesia untuk menunjukkan kedewasaan politik dan kebesaran hati. Dengan mengutip contoh rekonsiliasi yang telah dilakukan berbagai tokoh nasional, dia mengajak semua pihak untuk bisa berdamai dengan sejarah bangsa sendiri.
"Kalau Gus Dur bisa memaafkan masa lalu, kalau Prabowo bisa merangkul semua, kenapa kita tidak bisa berdamai dengan sejarah kita sendiri?" pungkas Sahmin.
Artikel Terkait
Prabowo Ksatria Tanggung Utang Kereta Cepat Whoosh: Sikap Negarawan atau Beban Warisan?
Relawan Kesehatan Tuntut Pencabutan Perpres 82/2018, Sebut Ancam Nyawa Rakyat Miskin
Gibran Buka Suara Soal Usulan Soeharto & Gus Dur Jadi Pahlawan Nasional
BEM KSI Serukan Penegakan Hukum Tegas & Pengusutan Aktor Kerusuhan Pasca Putusan MKD