Menurut Jeli, rasanya mendidik anak-anak di Sekolah Rakyat ini tak beda jauh dengan tugasnya di lapangan bencana. Ia sendiri adalah bagian dari tim inti Layanan Dukungan Psikososial yang kerap ditugaskan langsung oleh Kementerian Sosial.
“Mendidik anak-anak ini seperti mendampingi penyintas bencana. Mereka berada di fase pancaroba. Penuh gejolak. Tapi justru di situlah peran kita,”
tegasnya.
Menjadi Tagana sekaligus pendidik tentu berat. Jadwalnya kerap bentrok. Di sekolah, ia juga masuk dalam sistem piket keamanan. Kalau dapat giliran jaga malam, esok paginya ia harus tetap siap mengajar. Begitu pula sebaliknya, habis seharian di sekolah, malamnya ia harus siaga jika ada panggilan darurat.
Kalau benar-benar tak bisa hadir, ia berkoordinasi dengan wali asuh agar bimbingan agama para siswa tak putus di tengah jalan.
Kegiatannya tak berhenti di dalam kelas. Jeli juga aktif membina Pramuka, yang wajib diikuti semua siswa. Bahkan, jauh sebelum ada surat tugas resmi, ia sudah turun langsung membersamai kegiatan mereka. Nilai-nilai seperti disiplin dan kesiapsiagaan sama persis dengan prinsip di dunia kebencanaan ia tanamkan perlahan.
Jadi, di tengah lingkungan sekolah yang baru pulih dan cuaca yang tak menentu, Jeli Hendri berdiri di dua medan sekaligus. Dari garis depan saat darurat, sampai ke ruang kelas yang penuh harapan. Ia membuktikan, kesiapsiagaan itu bukan cuma soal tanggap darurat, tapi juga tentang menjaga masa depan anak-anak yang tumbuh di daerah rawan.
Artikel Terkait
Kuota Tiket Penyeberangan Nataru Masih Longgar, ASDP: Saatnya Rencanakan Perjalanan
Tragedi di Perairan Pangkep: Camat dan Relawan Tewas Usai Bagi Bantuan
Saudi Beri Ultimatum, Separatis Yaman Tak Gentar
Tangsel Resmi Berlakukan Status Darurat Sampah Hingga 2026