Pesantren 2025: Menjadi Pilar Indonesia Emas di Tengah Gelombang Perubahan

- Jumat, 26 Desember 2025 | 14:50 WIB
Pesantren 2025: Menjadi Pilar Indonesia Emas di Tengah Gelombang Perubahan

Lalu, kemunculan banyak pesantren baru di satu sisi patut disyukuri. Tapi di sisi lain, ini memunculkan persaingan yang semakin ketat. Banyak pesantren justru mengalami penurunan jumlah santri dari tahun ke tahun. Fenomena ini butuh perhatian serius agar persaingan tidak berujung pada pelemahan kualitas.

Integrasi pesantren ke dalam ekosistem ekonomi nasional juga belum optimal. Mereka kerap berjalan sendiri, tanpa konektivitas kuat dengan dunia usaha, industri halal, atau perguruan tinggi. Alhasil, potensi besar itu seringkali belum jadi kekuatan ekonomi yang berkelanjutan.

Dan yang tak kalah penting, persoalan kemandirian. Banyak pesantren belum mampu membangun kemandirian ekonomi untuk menopang operasional sehari-hari, apalagi pengembangan infrastruktur. Ketergantungan pada bantuan eksternal membuat mereka rentan dan sulit berkembang dalam jangka panjang.

Menjahit Harapan, Merancang Jalan ke Depan

Tapi refleksi sepanjang 2025 tentu tak boleh berhenti pada daftar tantangan. Ia harus jadi titik tolak untuk merancang langkah ke depan. Bagi kami di Santri Institute Indonesia, setahun terakhir ini adalah momentum awal untuk merajut ekosistem pesantren yang lebih terintegrasi dan berdampak jangka panjang.

Pertama, pembangunan SDM pesantren butuh satu desain besar yang menyatukan peran negara, pesantren, dunia usaha, dan kampus. Kolaborasi ini harus dirancang dengan sadar dan berkelanjutan, bukan sekadar proyek insidental.

Kedua, pesantren perlu didorong jadi pusat pengembangan talenta unggul sekaligus membangun identitas keunggulan masing-masing. Setiap pesantren harus menemukan ciri khasnya, entah di bidang keilmuan, kewirausahaan, teknologi, atau pertanian. Identitas ini penting agar mereka punya daya tarik yang jelas.

Ketiga, pengembangan SDM-nya harus dirancang sistematis dan berorientasi jangka panjang. Bukan proyek serampangan, melainkan investasi berkelanjutan dengan peta jalan yang jelas. Dengan begitu, pesantren bisa melahirkan lulusan yang tidak hanya siap kerja, tapi juga siap menciptakan lapangan kerja.

Keempat, pesantren perlu difasilitasi untuk membangun sentra-sentra ekonomi berbasis komunitas. Koperasi, usaha mikro, dan pengembangan industri halal berbasis pesantren harus jadi bagian dari strategi besar menuju kemandirian.

Peran pemerintah tetap krusial, terutama dalam pembinaan dan pendampingan. Penguatan sarana prasarana, kemudahan perizinan, standar keselamatan, hingga perlindungan sosial bagi para guru perlu jadi perhatian utama.

Alumni pesantren juga perlu dilibatkan secara aktif. Mereka bukan sekadar produk pendidikan, melainkan aset strategis bangsa yang bisa jadi jembatan antara pesantren dan sektor pembangunan lain.

Dan tentu, optimalisasi Direktorat Jenderal Pesantren di Kemenag harus terus diperkuat. Lembaga ini diharapkan tidak hanya berfungsi administratif, tapi menjadi motor penggerak kebijakan yang mampu menyatukan visi dan implementasi di lapangan.

Jika arah kebijakan ini dijaga konsisten, santri punya peluang besar menjadi salah satu pilar utama Indonesia Emas 2045.

Mereka bukan cuma pewaris nilai-nilai luhur. Tapi aktor pembangunan yang siap berkontribusi di ekonomi, sosial, dan ketahanan nasional. Pesantren, pada akhirnya, bukan sekadar warisan sejarah. Ia adalah investasi strategis bagi masa depan bangsa.

Wallahu a'lam bish-shawab.

La Ode Safiul Akbar, MBA.
Ketua Umum Santri Institute Indonesia.


Halaman:

Komentar