Willy menekankan bahwa revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban memiliki urgensi paradigmatik. Perubahan ini menempatkan korban sebagai pusat perhatian dalam sistem hukum pidana modern, menggeser fokus yang selama ini terlalu berpusat pada pelaku. Ia mengilustrasikan bahwa korban seringkali berada dalam posisi yang sangat rentan, bagai "jatuh tertimpa tangga".
Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 ini dilakukan secara menyeluruh karena lebih dari lima puluh persen pasalnya mengalami perubahan. Kehadiran negara dalam memberikan perlindungan nyata kepada korban melalui lembaga seperti LPSK menjadi prinsip utama dalam rancangan undang-undang yang baru.
Inisiatif legislasi ini menandai perubahan paradigma penting dalam sistem peradilan pidana Indonesia, menegaskan komitmen untuk membangun sistem hukum yang tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan dan melindungi hak-hak korban secara optimal.
Artikel Terkait
Natal dengan Seribu Rasa: Kisah Hangat, Kerja, hingga Duka dari Teman kumparan
Wacana Pilkada oleh DPRD: Nostalgia Orba atau Manuver Oligarki?
Dari Lini Produksi ke Rak Toko: Dua Anak Muda Temukan Makna Nyata di Balik Karir
Maklumat Yogyakarta: Tokoh Senior Desak Prabowo Cabut UU IKN dan DKJ