Bangsa Hakiki: Jalan Panjang Menuju Keadilan dan Martabat Rakyat
Sebuah bangsa tidak lahir hanya dari garis di peta, bukan pula sekadar kumpulan manusia yang tinggal pada hamparan tanah yang sama. Bangsa adalah kesadaran bersama. Ia terbentuk ketika manusia sepakat untuk hidup dalam koridor nilai, saling membangun, dan mewujudkan masa depan kolektif yang lebih baik. Kesadaran itu melahirkan tujuan, dan tujuan itulah yang menuntun arah perubahan.
Namun, perjalanan menuju bangsa hakiki sering kali berliku, terutama ketika kepentingan pribadi dan kelompok mengambil alih kendali, sehingga rakyat—yang seharusnya menjadi pengemban utama kedaulatan—malah tersingkir.
Apakah Bangsa Hakiki Itu?
Dalam konteks itu, muncul pertanyaan penting: apakah sebuah bangsa dapat disebut hakiki bila rakyatnya tidak sejahtera, bila ketidakadilan merajalela, dan bila pemimpinnya lebih sibuk melindungi para penjarah kekayaan negara daripada memperjuangkan kehidupan rakyat banyak?
Pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur dan tanpa pretensi, sebab ia menyentuh inti identitas kolektif kita.
Tujuan Mendasar Sebuah Bangsa
Bangsa hakiki memiliki tujuan luhur: menyejahterakan rakyat, menjaga martabat manusia, serta membangun kehidupan yang berkeadilan dan beradab.
Dalam konstitusi banyak negara, termasuk Indonesia, tujuan itu telah tercermin jelas: melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan masyarakat, memajukan kesejahteraan umum, dan mewujudkan ketertiban dunia. Amanat itu bukan hiasan kata, melainkan sumpah historis yang lahir dari penderitaan panjang penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan.
Namun, amanat luhur ini hanya dapat terwujud jika pemimpin dan rakyat berjalan seirama. Pemimpin memikul tanggung jawab moral untuk menjaga keselamatan bangsa, sedangkan rakyat memiliki kewajiban kolektif untuk terlibat dalam pembangunan. Keduanya harus saling menjaga, saling mengingatkan, dan saling menegaskan arah masa depan. Ketimpangan fungsi ini akan melahirkan kekosongan moral yang merusak fondasi kenegaraan.
Keselamatan Bangsa dan Kesejahteraan Rakyat
Keselamatan bangsa bukan sekadar bebas dari ancaman fisik, seperti perang, bencana, atau wabah. Keselamatan juga mencakup stabilitas sosial, ketahanan ekonomi, dan kesehatan moral negara. Rakyat akan merasa aman ketika mereka yakin negara benar-benar berdiri untuk mereka. Sebaliknya, ketika negara gagal memberikan kepastian hukum, jaminan hidup, dan pelayanan publik yang layak, maka rasa aman itu runtuh. Inilah awal dari kegelisahan kolektif yang dapat menggerus kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Kesejahteraan rakyat merupakan pondasi utama yang menentukan eksistensi bangsa.
Masyarakat yang sehat, terdidik, dan sejahtera akan menjadi motor penggerak kemajuan yang tak tertandingi. Sebaliknya, kemiskinan yang berkelanjutan adalah racun peradaban. Ketika rakyat terpinggirkan, bangsa kehilangan daya saing. Pembangunan pun akan berujung pada jurang ketimpangan yang semakin lebar.
Namun, mencapai kesejahteraan bukan perkara sederhana. Diperlukan kebijakan yang berpihak, sistem ekonomi yang inklusif, dan tata kelola yang bersih. Untuk itu, pemberantasan korupsi menjadi syarat absolut. Tanpa itu, kesejahteraan hanya ilusi.
Ketika Korupsi Menjadi Hama Bangsa
Korupsi adalah musuh paling berbahaya bagi bangsa. Ia tidak hanya merampas kekayaan negara, tetapi juga merusak moralitas publik. Korupsi menciptakan kesenjangan yang tajam, menghancurkan kepercayaan rakyat, dan melumpuhkan pembangunan. Dalam masyarakat yang koruptif, hukum kehilangan wibawa; kekuasaan menjadi komoditas; dan rakyat dipaksa menunduk pada ketidakadilan. Bangsa hakiki tidak memberi ruang bagi koruptor. Ia tidak merawat mereka, tidak memberi karpet merah, dan tidak menyembunyikan mereka di balik retorika kesejahteraan. Bangsa hakiki berani menegakkan hukum, apa pun resikonya.
Pemberantasan korupsi bukan hanya soal menghukum para pelakunya, tetapi juga mengubah budaya yang memungkinkan korupsi tumbuh. Tanpa itu, korupsi hanya akan beregenerasi, dan rakyat terus menjadi korban. Dalam banyak kasus, korupsi menciptakan lingkaran lemah: anggaran publik bocor; pelayanan buruk; rakyat semakin terjepit; sementara koruptor hidup mewah. Lingkaran ini harus diputus. Jika tidak, maka bangsa kehilangan makna keberadaannya.
Artikel Terkait
Rismon Sianipar Beri Tanggapan Usai Ditunjuk Tersangka Kasus Ijazah Palsu Jokowi
Soeharto Layak Jadi Pahlawan Nasional? Habib Umar Alhamid Beberkan Alasannya
Kolaborasi DPD RI dengan Jurnalis & Kreator Digital Sumsel Diperkuat untuk Komunikasi Publik
Kondisi Terkini Korban Ledakan SMAN 72: Sempat Kritis, Wajah Luka Bakar