Analisis Realisasi Janji Pemerintah 2025: MBG, Rumah Murah, Sekolah Rakyat, hingga Utang Whoosh

- Rabu, 05 November 2025 | 07:50 WIB
Analisis Realisasi Janji Pemerintah 2025: MBG, Rumah Murah, Sekolah Rakyat, hingga Utang Whoosh

Program Sekolah Rakyat semestinya menjadi jalan bagi pendidikan inklusif. Namun di balik ide besar itu, terjadi benturan kewenangan. Kementerian Sosial mengklaim sebagai pelaksana program bagi anak rentan sosial, sementara Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menjalankan skema serupa melalui PKBM dan pendidikan nonformal. Hasilnya: lokasi program tumpang tindih, data murid berulang, dan anggaran terbuang sia-sia. Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut para ilmuwan tata kelola sebagai governance dissonance — ketika lembaga negara bekerja tanpa orkestrasi, dan harmoni digantikan kebingungan.

Analisis Pengambilalihan Utang Kereta Cepat Whoosh

Janji paling heroik datang ketika Presiden Prabowo berikrar akan mengambil alih utang proyek Kereta Cepat Whoosh — warisan mahal dari pemerintahan sebelumnya. Di permukaan, langkah ini tampak berani dan patriotik. Namun secara fiskal, keputusan ini menyimpan dilema besar.

Jika pengambilalihan dilakukan atas nama negara, maka beban utang otomatis berpindah ke pajak rakyat. Artinya, rakyat yang tak pernah menaiki Whoosh tetap menanggung cicilan dan bunganya. Padahal, rasio utang terhadap PDB Indonesia pada 2025 sudah menyentuh sekitar 39–40%, dengan ruang fiskal yang makin sempit. Sebaliknya, jika pengambilalihan dilakukan atas nama pribadi atau entitas tertentu, maka muncul pertanyaan tentang transparansi dan tanggung jawab publik. Dalam kedua skenario, rakyatlah yang berpotensi dirugikan — baik melalui pajak yang meningkat maupun layanan publik yang dikorbankan.

Fenomena ini disebut para ekonom sebagai fiscal illusion: ilusi kebijakan pro-rakyat yang sebenarnya hanya memindahkan beban tanpa memberi manfaat nyata.

Solusi Menemukan Kembali Arah Kepemimpinan

Keluar dari vakum ini membutuhkan langkah yang lebih besar dari sekadar retorika.

  1. Audit independen nasional untuk menilai efektivitas program unggulan — MBG, rumah murah, Sekolah Rakyat, dan Whoosh — agar publik mengetahui capaian dan beban fiskal secara transparan.
  2. Task force lintas kementerian dengan otoritas tunggal di bawah presiden guna memastikan sinergi, bukan tumpang tindih.
  3. Pendekatan desentralisasi adaptif, yang memberi ruang bagi daerah menentukan prioritasnya sesuai kondisi sosial-ekonomi.
  4. Kepemimpinan berbasis hasil, bukan seremoni. Ukurannya bukan berapa kali diresmikan, tapi berapa anak kenyang, berapa keluarga punya rumah, berapa murid kembali belajar.
  5. Transparansi fiskal, agar rakyat tahu setiap rupiah yang digunakan untuk membayar utang atau membiayai program sosial.

Kesimpulan: Dari Janji ke Bukti Nyata

Negara tidak akan runtuh karena kritik, tetapi ia bisa hancur karena kehilangan arah. Kepemimpinan yang sibuk bereaksi tanpa visi hanya akan melahirkan kebijakan tambal-sulam, dan rakyat yang kehilangan kepercayaan. "Janji besar" seharusnya menjadi energi perubahan — bukan tameng pencitraan untuk menutupi ketidakmampuan.

Hari ini, bangsa ini tidak kekurangan ide. Yang hilang adalah kompas moral dan arah kebijakan. Ketika negara terjebak dalam vakum kepemimpinan, ia tampak bergerak — tapi sesungguhnya tersesat. Janji besar menjadi gema, realisasi hambar menjadi kenyataan. Dan di antara keduanya, rakyat menunggu: kapan negara benar-benar hadir dengan hati, bukan hanya dengan kata.

Tentang Penulis:
M. Isa Ansori adalah Kolumnis dan Dosen, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya, serta Wakil Ketua ICMI Jatim. Aktif menulis opini tentang kebijakan sosial, politik, ekonomi dan pendidikan serta kebijakan publik yang berkeadilan untuk berbagai media nasional.


Halaman:

Komentar