Literasi Digital Anak: Peran Penting Perpustakaan Sekolah Sebagai Ruang Aman Digital
Dunia digital telah menjadi ruang kehidupan kedua bagi anak-anak Indonesia. Di sini mereka belajar, bermain, sekaligus menghadapi berbagai risiko baru. Kehadiran algoritma dan kecerdasan buatan turut membentuk kebiasaan dan cara berpikir mereka. Dalam kondisi ini, muncul pertanyaan mendesak: siapa yang bertanggung jawab menjamin keamanan ruang digital untuk generasi muda?
Kekhawatiran ini menjadi fokus utama dalam kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat yang diselenggarakan Universitas Panca Sakti Bekasi di Yayasan Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Acara yang melibatkan lebih dari enam puluh peserta—termasuk guru, orang tua, dosen, dan perwakilan IGTK—mencerminkan keresahan kolektif tentang tumbuh kembang anak di era tanpa batas.
Regulasi Negara dan Tantangan Implementasi di Sekolah
Kesadaran tentang urgensi literasi digital anak telah sampai pada tingkat kebijakan. Pemerintah merespons dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2025. Regulasi ini menandai komitmen negara dalam melindungi anak di ruang digital.
PP 17/2025 mewajibkan penyelenggara sistem elektronik—termasuk platform pendidikan dan perpustakaan digital—untuk menyediakan verifikasi usia, kanal pelaporan, dan kontrol orang tua. Sementara Perpres 87/2025 menekankan strategi nasional yang memperkuat kolaborasi lintas lembaga dan pembangunan budaya digital yang aman dan beretika.
Namun, regulasi saja tidak cukup. Data dari Peta Jalan Pelindungan Anak di Ranah Dalam Jaringan 2025–2029 mengungkap fakta mengkhawatirkan: 74,8% anak usia 7–17 tahun telah mengakses internet, 22% pernah terpapar konten pornografi, dan 31% menunjukkan gejala kecanduan digital. Angka ini menjadi alarm bahwa sekolah dan perpustakaan harus menjadi garda terdepan dalam penerapan literasi digital.
Transformasi Perpustakaan Sekolah Menjadi Benteng Digital
Perpustakaan sekolah mengalami evolusi peran—dari sekadar penyimpan buku menjadi benteng moral di dunia maya. Institusi ini memiliki fondasi etik yang kuat untuk melindungi anak dari risiko digital.
Dalam diskusi di Tebet, terungkap bahwa pustakawan kini berperan sebagai pendidik etik digital. Mereka membimbing anak membedakan informasi valid dari manipulasi, serta mengenali jebakan algoritma. Kecerdasan buatan dalam perpustakaan harus dikelola melalui kebijakan kelembagaan berbasis nilai.
Artikel Terkait
Waspada! Rute Transjakarta Ini Berubah Total 30 Oktober 2025 Akibat Demo Monas
Purbaya Effect Guncang Duit Prabowo-Gibran: Bisakah Jokowi Kunci Tiket 2029?
Macet Parah! Jalan Protokol Jakarta Ditutup Total Gara-gara Aksi Guru Ini
Darfur Lumbung Emas, Sudan Lautan Darah: Inikah Perang Terkejam Abad Ini?