Setoran dari biro perjalanan ke pejabat Kemenag di rentang 2.600–7.000 dolar AS per kuota.
Angka itu setara Rp 41,9 juta hingga Rp 113 juta per kuota dengan kurs Rp 16.144,45.
"Kalau yang besaran 2.600 sampai 7.000 itu, itu untuk kelebihannya yang disetorkan ke oknum di Kementerian Agama,” ucap Asep.
KPK sudah menggeledah kantor Kementerian Agama (Kemenag), sebuah rumah di Depok, dan kantor penyelenggara haji.
Dari penggeledahan itu, KPK setidaknya menyita 1 unit kendaraan roda empat, beberapa aset properti, dokumen dan barang bukti elektronik yang menjadi petunjuk untuk membuat terang perkara ini.
KPK mengungkap dugaan asosiasi yang mewakili perusahaan travel melobi Kemenag supaya memperoleh kuota yang lebih banyak bagi haji khusus.
KPK mengendus lebih dari 100 travel haji dan umrah diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi kuota haji ini. Tapi, KPK belum merinci ratusan agen travel itu.
KPK menyebut setiap travel memperoleh jumlah kuota haji khusus berbeda-beda.
Hal itu didasarkan seberapa besar atau kecil travel itu. Dari kalkulasi awal, KPK mengeklaim kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun lebih.
Tercatat, KPK sudah memeriksa Yaqut Cholil Qoumas, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief, pegawai Kemenag berinisial RFA, MAS, dan AM, Pemilik Travel Uhud Tour Ustadz Khalid Basalamah, Sekjen AMPHURI Muhammad Farid Aljawi, serta Ketua Umum Kesthuri Asrul Aziz.
KPK sudah menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan meski tersangkanya belum diungkap.
Penetapan tersangka merujuk pada Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sumber: Republika
Artikel Terkait
Roy Suryo Buka Suara Soal Ziarah ke Makam Orang Tua Jokowi, Alasannya Bikin Heboh!
Geng Solo Masih Berkeliaran? Ini Tantangan Terberat Prabowo di Tahun Pertama!
Prabowo Disebut Tak Semanis Jokowi, Benarkah Popularitasnya Lebih Tulus?
DPR Sindir Babe Haikal: Ancam Legalkan Produk Non-Halal, Kebijakan Ngawur atau Langkah Berani?