Noel, Kutukan IEG (Intrik Ekstrem dalam Gelap)

- Senin, 25 Agustus 2025 | 07:30 WIB
Noel, Kutukan IEG (Intrik Ekstrem dalam Gelap)




OLEH: YUDHIARMA MK*


DI sebuah vila yang berdiri bagai seorang pertapa dalam gua di atas bukit, saat angin berbisik pada daun-daun eukaliptus, tinggallah sepasang suami istri.


Pondok asri itu adalah dunia mereka, dipenuhi buku-buku yang berdebu dan senja yang selalu berwarna merah jingga.


Cinta mereka tak lagi seperti air yang mendidih, tetapi bak sungai yang dalam, mengalir tenang dan penuh makna.





Sang istri, bagai menjangan muda berbadan dua yang mengandung kehidupan. Di rahimnya, sebentar lagi akan lahir seorang putra yang mereka tunggu bagai awal semi di puncak musim salju yang panjang. Setiap malam, mereka mendengar detak jantung kecil bagai irama genderang dari negeri dongeng.


“Dia sedang bercerita.” suara itu berbisik di suatu malam dengan mata berkilau. “Dia bercerita tentang langit dan bintang-bintang.”


Dia tersenyum seraya tangan membelai rambut suami. “Dia akan menjadi pelukis,” katanya. “Atau mungkin seorang pujangga.”


Namun, langit tak selamanya memeluk bumi dengan cerah. Kabar itu datang bukan seperti badai, tetapi seperti kabut tebal yang menyelinap pelan, membekukan segala sukacita.


Seorang tabib bijak dengan sorot mata bagai menembus tujuh lapis langit, telah memandang nasib anak yang belum lahir itu. 


Dalam sebuah ruangan yang hening, hanya diisi oleh nyala lilin yang menari-nari, ia membisikkan kebenaran yang pahit.


“Putra yang kau kandung,” ucap sang dukun, suaranya lirih bagai dedaunan yang bergesek di malam hari, “Bukanlah anak biasa. 


Di dalam jiwanya terpateri sebuah takdir yang besar dan berat. Kelak, bila ia dewasa, akal pikirannya yang kelam akan membawa kutukan, menghancurkan tatanan yang sudah rapuh, mengobarkan api yang panas membakar. 


Ia bukan hanya perusak, tetapi pembongkar. Bukan penghancur, tetapi pelebur jadi debu. Dan dalam kebingungan bangsa ini, ia akan menjadi sumber malapetaka. Kekuasaan yang gemuk dan takut akan gemetar, lalu menggunakan pedangnya. Kutukan akan datang, dan negeri ini akan luluh lantak oleh perbuatannya.”


Pasangan itu terduduk. Dunia berputar kencang. “Tidak ada jalan lain?” tanya mereka dengan suara serak bagai burung gagak yang kehilangan sarang.


Sang tabib menggeleng pelan. “Ini bukan ramalan. Ini adalah kepastian, seperti matahari yang terbit di ufuk timur. Aku hanyalah penyampai. Ini bagai kisah Musa dan Khidir, di mana sebuah kapal harus dilubangi untuk menyelamatkannya dari perampok. Sebuah pengorbanan kecil untuk mencegah kehancuran yang lebih besar. Terkadang, cinta yang paling agung adalah melepaskan.”



Halaman:

Komentar