Pemimpin Tak Punya Otak atau Tak Punya Nurani? 'Membongkar Wajah Kekuasaan Era Jokowi: Korupsi, Represi, dan Negara Tanpa Keadilan!'
Oleh: M Yamin Nasution, S.H.
Pembuka: Ketika Kekuasaan Menjadi Cermin Retak
Dalam setiap narasi kekuasaan, sejarah selalu menuntut satu pertanggungjawaban moral: untuk siapa kekuasaan itu ditegakkan, dan dengan harga apa?
Di bawah langit Indonesia yang disesaki baliho dan janji pembangunan, rakyat sebenarnya tidak buta.
Mereka tahu, ketika hukum mulai melunak terhadap para pencuri berdasi, ketika petani digilas buldoser atas nama investasi, dan ketika keluarga pemimpin mulai bercokol di kursi-kursi kekuasaan, maka negara ini sedang berdiri di atas fondasi yang rapuh—diikat bukan oleh hukum dan keadilan, melainkan oleh kompromi dan kepentingan.
Selama satu dekade terakhir, Joko Widodo—sosok yang dahulu dielu-elukan sebagai “wakil rakyat sejati”—justru memimpin apa yang mungkin menjadi salah satu periode paling kontradiktif dan problematik dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Dalam wajahnya yang sederhana, tersembunyi struktur kekuasaan yang rumit, penuh kompromi, dan dalam banyak hal, kehilangan arah moral.
Korupsi yang Dilegalkan, Hukum yang Dibajak
Pelemahan sistemik terhadap KPK—yang disahkan melalui revisi UU KPK tahun 2019—hanya pembuka dari lanskap korupsi era Jokowi.
Skandal demi skandal terjadi di bawah kendali pemerintah pusat: proyek BTS Kominfo, bansos COVID-19, hingga mafia minyak goreng.
Namun lebih berbahaya dari korupsi adalah pembajakan hukum. Omnibus Law Cipta Kerja, kini disahkan sebagai UU No. 6 Tahun 2023, memuat pasal-pasal seperti Pasal 154–157 yang secara eksplisit membuka jalan bagi pengalihan aset negara dan BUMN kepada pihak swasta dan perusahaan patungan.
Hukum berubah bukan menjadi pelindung rakyat, tetapi alat legitimasi kepentingan oligarki.
Luka Agraria, Darah yang Tak Pernah Kering
Pembangunan tidak netral. Di era Jokowi, pembangunan menjadi alat konsolidasi kekuasaan dan perampasan ruang hidup.
Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2022, terdapat:
- 212 konflik agraria sepanjang tahun itu saja;
- Total 2.610.442 hektare tanah diperebutkan;
- Lebih dari 346.402 keluarga terdampak;
- Sedikitnya 72 orang tewas dalam konflik agraria sejak 2015 (tertembak atau ditembak);
- Ratusan lainnya luka-luka atau dikriminalisasi.
Wilayah Kalimantan, Sumatra, dan Papua menjadi titik panas dari konflik ini—khususnya akibat ekspansi tambang, sawit, dan proyek strategis nasional. Pemerintah tidak hadir sebagai penengah, tetapi sebagai fasilitator investor.
Bantuan Bencana atau Branding Komersial Terselubung?
Ironi terbesar terjadi di tengah duka: saat ribuan warga mengungsi akibat gempa Cianjur tahun 2022, nasi kotak bermerek CFC (California Fried Chicken) dibagikan kepada korban oleh pejabat negara.
Peristiwa ini seharusnya menuai kritik tajam dari Sarjana Hukum. Penggunaan merek dagang dalam bantuan bencana bukan hanya tidak etis, tetapi juga berpotensi melanggar prinsip netralitas dan independensi bantuan kemanusiaan sebagaimana diatur dalam:
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, khususnya Pasal 26 dan 27;
Peraturan Kepala BNPB No. 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Logistik dan Peralatan dalam Penanggulangan Bencana, yang mewajibkan bantuan tidak bersifat promosi.
Bila pejabat publik membagikan bantuan bermerek dagang tanpa prosedur lelang atau transparansi, maka hal ini juga dapat dimaknai sebagai bentuk konflik kepentingan, bahkan dugaan pengadaan terselubung.
Nepotisme Baru dalam Demokrasi Lama
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka maju dalam Pilpres 2024 adalah preseden buruk bagi demokrasi.
Bukan hanya karena ketua MK saat itu adalah ipar Presiden, melainkan karena mekanisme hukum diputarbalikkan demi satu nama.
Jika kekuasaan bisa diwariskan lewat rekayasa hukum, maka demokrasi telah berubah menjadi semacam feodalisme konstitusional—di mana nama lebih penting daripada legitimasi rakyat.
Menghilangkan konsep “sah” dalam praktik hukum, melainkan sebatas produk legalisasi “legal” yang dikeluarkan Lembaga Negara yang sah (Hans Kelsen : Purity of Law, 2007).
Dampaknya, penolakan dari masyarakat terus menerus terjadi, dikarenakan suatu system hukum baru, lahir seketika dan bertentangan dengan tradisi aturan hukum yang puluhan tahun dijadikan rujukan.
Ekonomi untuk Siapa?
Data resmi dari BPS per Maret 2023 mencatat bahwa:
- Jumlah penduduk miskin mencapai 26,36 juta jiwa;
- Ketimpangan masih tinggi, dengan Rasio Gini stagnan di angka 0,388.
Sementara itu, aset BUMN mulai dijual, bahkan diatur dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja. Di saat rakyat kesulitan hidup, kekayaan negara justru dilego dalam bentuk perusahaan patungan, tanpa pengawasan publik yang layak.
Indonesia Terjajah Kembali
Makna Filosofis “Pintu Gerbang Kemerdekaan”. Ketika Bung Karno menyatakan, “telah sampailah kita di pintu gerbang kemerdekaan,” ia sedang memberi peringatan bahwa kemerdekaan politik hanyalah awal.
Penjajahan yang lebih dalam dan sistemik—yakni penjajahan ekonomi—masih berlangsung dan akan terus berlanjut jika tidak dihentikan oleh kekuatan politik yang sadar dan berdaulat.
Hal ini tercermin jelas dalam Pidato 1 Juni 1945 dan dokumen-dokumen Marhaenisme yang menempatkan rakyat kecil (Marhaen) sebagai pusat revolusi sosial dan ekonomi.
Bung Karno menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak cukup hanya mengganti bendera penjajah dengan bendera Merah Putih, tetapi harus mengganti sistem ekonomi kolonial yang mengeksploitasi tanah, air, dan kekayaan alam oleh segelintir elite dan asing. Inilah yang disebutnya sebagai revolusi sosial dan ekonomi.
Penjajahan Ekonomi: Historis dan Kontemporer
Penjajahan Zaman Kolonial
Seperti disebut dalam buku The History of Java oleh Thomas Stamford Raffles (1817), walau Majapahit adalah kerajaan lokal, ia tunduk pada sistem dagang asing, terutama melalui hubungan politik-ekonomi dengan Tiongkok dan India.
Julian Wolbers dalam Java, Its History, Customs and Governance menggambarkan rakyat bumiputera sebagai kelas pekerja yang “berdiri di atas tanah sendiri, tetapi tidak pernah menikmati hasilnya.”
HGU 75 Tahun oleh India-Belanda adalah bentuk perpetual tenure—kepemilikan jangka panjang oleh pihak asing dan kongsi dagang—yang mengabaikan hak milik asli rakyat.
Penjajahan Zaman Modern
Dalam konteks Indonesia hari ini, kebijakan seperti Omnibus Law dan pemberian izin konsesi lebih dari 100 tahun (melebihi sistem HGU kolonial) dapat dianggap sebagai kelanjutan penjajahan ekonomi dalam bentuk baru: legalistik, konstitusional, tetapi tetap eksploitatif.
Dalam bahasa Bung Karno, ini adalah “neo-kolonialisme” atau imperialisme ekonomi yang disahkan melalui hukum.
Omnibus Law dan Perpetual Tenure
Omnibus Law Cipta Kerja memberikan ruang yang sangat besar kepada investor asing dan konglomerat domestik untuk mendapatkan:
- Hak Guna Usaha (HGU) lebih dari 100 tahun,
- Pemutusan hubungan kerja secara sepihak,
- Privatisasi sumber daya alam melalui perizinan berbasis risiko, bukan pengawasan negara,
- Penghapusan ketentuan penting dalam UU Ketenagakerjaan, Perlindungan Lingkungan, dan BUMN.
Semua ini menjadikan rakyat, dalam istilah Marxis dan Marhaenis, kembali sebagai “proletar tanpa tanah” yang hidup di atas tanahnya sendiri, namun dikekang oleh aturan pasar yang dibuat bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemodal.
Kontradiksi Konstitusional
Hal ini jelas bertentangan dengan:
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Pasal 1 ayat (3): Negara hukum, yang seharusnya memihak pada keadilan sosial, bukan kepentingan korporasi.
Otak atau Nurani: Apa yang Kosong?
Di titik ini, publik hanya bisa bertanya: apakah Presiden Jokowi tak mengerti akibat dari semua ini—atau memang tak peduli?
Ketika penguasa tak lagi mendengar jerit petani, suara buruh, atau tangis anak-anak di pengungsian, maka negeri ini sedang dipimpin bukan oleh visi, tetapi oleh vakum moral.
Penutup: Jalan Panjang Menuju Kemerdekaan Sejati
Ini bukan sekadar kritik, melainkan panggilan sejarah. Jika bangsa ini hendak selamat, maka ia harus mulai berani memisahkan antara pemimpin yang dicintai, dan pemimpin yang efektif.
Antara citra dan kerja nyata. Antara mereka yang masih punya otak, dan mereka yang masih punya nurani.
Pernyataan Bung Karno tentang “pintu gerbang kemerdekaan” adalah deklarasi bahwa perjuangan belum selesai.
Saat ini, tantangan terbesar Indonesia bukanlah penjajahan politik, tetapi hegemoni ekonomi melalui instrumen hukum modern seperti Omnibus Law.
Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum moral, Negara tidak mengikat pejabat tingginya dengan hukum lain, sekalipun dalam hukum pidana menggunakan frasa “barang siapa”.
Hal ini bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada pemimpin agar dapat melakukan suatu kebijakan atau merubah RPJM/P bila dibutuhkan karena ketidakpastian masa depan.
Moral diikat dan disempurnakan dengan Sumpah, sehingga tuntutan kehati-hatian dalam berbicara dan kebijakan adalah syarat mutlak seorang Presiden.
Mayoritas kebijakan Presiden Jokowi harus dikoreksi ulang demi menuju kemerdekaan sejati bangsa Indonesia. ***
Artikel Terkait
Susi Pudjiastuti Bongkar Fakta Tambang Swasta di Raja Ampat, Sindir Balik Menteri ESDM Bahlil
Kita Gagal Mendengar: Raja Ampat dan Ancaman Nyata atas Persatuan Indonesia
Ivan Gunawan Sentil Kemenag karena Ada 2 Jamaah Haji Terlantar: Tahun Ini Gak Ada Petugas Haji?
Dulu Meninggalkan, PKS Siap Gandeng Anies Lagi: Dia Tokoh Indonesia, Saudara Kita, Saudara PKS