Jokowi, Ijazah yang Membakar Demokrasi

- Kamis, 22 Mei 2025 | 07:40 WIB
Jokowi, Ijazah yang Membakar Demokrasi

Dalam Undang-Undang Pemilu, ijazah minimal SMA memang cukup untuk mendaftar sebagai calon presiden. Tetapi Jokowi mendaftarkan diri sebagai lulusan UGM, bukan lulusan SMA. Artinya, jika ijazah itu terbukti palsu, maka ia mencantumkan data tidak benar dalam dokumen resmi. Itu bukan soal politik lagi. Itu pidana.


Proses Hukum yang Tak Netral dan Media yang Terbelah


Ketika kasus ini mulai diproses, keanehan hukum kembali muncul. Hakim yang memeriksa gugatan Bambang Tri kemudian dipindahkan. Bambang Tri sendiri ditahan atas tuduhan menyebarkan berita bohong, padahal gugatan hukumnya belum selesai. Proses hukum seperti ini memperlihatkan bahwa sistem kita masih belum imun terhadap intervensi politik.


Media juga tidak satu suara. Sebagian besar media arus utama cenderung meremehkan isu ini, sementara media alternatif dan kanal YouTube independen malah menggali lebih dalam. Dalam lanskap demokrasi yang sehat, hal ini mestinya memunculkan diskursus, bukan represi.


Mengapa Rezim Tak Transparan?


Jika benar Jokowi tidak bersalah, mengapa tidak membuka semua dokumen akademik secara publik? Mengapa justru yang mengungkapkan keraguan ditahan, diintimidasi, atau dimatikan ruang bicaranya? Dalam iklim demokrasi sejati, transparansi bukan opsi, melainkan kewajiban.


Alih-alih menjawab keraguan rakyat, elite penguasa justru menutup-nutupi dengan alasan “keamanan nasional”, atau menyebut ini sebagai “hoaks musiman menjelang pemilu”. Padahal, menjawab dengan terbuka jauh lebih ampuh untuk menepis tuduhan, daripada menguburnya di bawah pasal-pasal karet.


Demokrasi yang Melelahkan dan Rakyat yang Apatis


Dari skenario tiga periode, dinasti politik, hingga tuduhan ijazah palsu -- semuanya menunjukkan betapa rusaknya sistem politik kita. Ketika hukum dipakai untuk melindungi kekuasaan, bukan keadilan; ketika media menjadi alat pengalihan isu, bukan pencari kebenaran; ketika rakyat kehilangan semangat untuk bertanya karena jawabannya selalu dibungkam.


Akibatnya, apatisme menjadi wabah baru. Rakyat tak lagi percaya pada proses pemilu, partai, bahkan negara. Ini jauh lebih berbahaya ketimbang krisis ekonomi atau konflik antaragama. Negara bisa runtuh bukan karena perang, tetapi karena kepercayaan yang lapuk.


Saatnya Publik Bertanya dan Bergerak


Isu ijazah ini memang belum selesai. Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah: akankah kita biarkan sistem ini terus seperti ini? Sampai kapan lembaga pendidikan, institusi hukum, dan suara rakyat dibungkam oleh aktor politik yang haus kekuasaan?


Mungkin ini saatnya rakyat menyadari bahwa demokrasi bukan sistem yang bisa diserahkan pada elit politik semata. Ia harus dijaga dengan partisipasi aktif, dengan keberanian untuk bertanya, dan dengan kesadaran bahwa kekuasaan yang tak dipertanyakan akan berubah menjadi tirani.


Republik yang Harus Bangkit


Jika benar Jokowi bersih dari tuduhan ijazah palsu, maka ia harus menjadi yang paling pertama mendorong audit publik, bukan justru membiarkan para pendukungnya membunuh kritik. Jika benar ia tak ingin tiga periode, maka ia harus mundur dari semua skenario perpanjangan kekuasaan melalui anaknya. Jika benar ia pemimpin rakyat, maka rakyat berhak tahu semuanya -- bukan melalui buzzer, tetapi melalui hukum dan kebenaran.


Republik ini tak akan runtuh karena satu orang, tetapi ia bisa roboh jika terus-menerus ditipu oleh narasi yang dibungkus pencitraan. Satu-satunya jalan keluar adalah membongkar semua dengan jujur dan berani.


Karena di negeri yang sehat, presiden bukan dewa. Ia adalah manusia biasa yang bisa ditanya, diperiksa, dan -- kalau perlu -- diadili.rmol.id


Oleh: Khairul A. El Maliky

Penulis adalah pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, dan esais

______________________________________

Halaman:

Komentar