“Kita bilang, waduh, masuk art school itu terlalu berisiko. Kalau enggak sukses, hidup bisa susah. Jadi sebagai jalan tengahnya, ya oke, ambil arsitek saja,” kenang Pranoto.
Namun begitu, dunia kerja yang penuh presisi dan aturan baku rupanya justru membuat Nabila kian rindu pada kebebasan berekspresi. Lukisan menjadi pelariannya. “Jadi itu kayak escape-nya aku dari rutinitas kerja. Menurutku semua seni harus ada cerita manusianya. Itu yang bikin karyanya interesting,” tutur Nabila.
Ayahnya membenarkan hal itu. “Tapi rupanya jiwa seninya masih tinggi. Makanya dia terus melukis, meski tetap bekerja di bidang sustainability di Swiss.”
Pameran perdana di Yogyakarta ini rupanya membuka pintu untuk langkah selanjutnya. Pranoto menyebutkan, putrinya sudah mendapat undangan untuk pameran lain di kota yang sama. “Dia diundang untuk pameran di acara Women Painting Exhibition nanti, bertepatan dengan Hari Kartini,” ujarnya.
Pilihan Yogyakarta sebagai lokasi pameran perdana juga bukan tanpa alasan. Bagi keluarga mereka, kota ini punya tempat spesial dalam peta seni regional.
“Yogyakarta kan the art capital, bukan cuma untuk Indonesia, tapi juga Asia Tenggara. Semua kiblatnya di sini. Event di Singapura pun, para art dealer sana biasanya mencari karya ke Yogyakarta, bukan ke Jakarta atau Bali. Di sini apresiasinya sangat tinggi,” tambah Pranoto.
Jadi, pameran ini lebih dari sekadar pameran biasa. Ia adalah titik awal Nabila memperkenalkan dirinya pada publik Indonesia, sekaligus sebuah babak baru dalam perjalanan panjangnya yang menjembatani arsitektur, keberlanjutan, dan seni rupa. Sebuah perjalanan pulang yang penuh makna.
Artikel Terkait
Pemerintah Tinjau Ulang Izin 24 Perusahaan Diduga Picu Banjir Sumatera
Toko Buku Megah di KL, Cermin Pahitnya Minat Baca Kita
Pratikno Ingatkan Daerah Siaga Bencana Jelang Arus Balik 2026
Tito Desak Pemda Sumatera Percepat Pendataan Rumah Rusak Pascabencana