Banjir, gempa, tsunami semua orang tahu dampak mengerikannya. Ribuan nyawa melayang, infrastruktur hancur, lingkungan pun terpuruk. Tapi ada bencana lain yang lebih dalam, lebih ganas, karena ia merusak jiwa: bencana akidah. Inilah malapetaka yang membuat orang kehilangan keyakinan, bingung menjalani hidup, dan ragu akan akhirat.
Belakangan ini, media sosial ramai membahas satu fenomena. Sebuah grup qasidah dari Masjid Ta’lim Gorua, Halmahera Utara, tampil di dalam Gereja Petrus Baru. Adegannya: belasan ibu-ibu berjilbab memainkan rebana sambil bernyanyi di dalam gereja. Bukan cuma itu. Ada juga sekelompok pemuda yang menyanyikan shalawat di tempat ibadah umat Kristiani. Lalu, seorang guru yang mengajak anak-anak Muslim berkunjung ke gereja pun ikut viral.
Menurut sejumlah pengamat, kejadian-kejadian semacam ini bukanlah kebetulan. Di negeri ini, rupanya ada kelompok-kelompok yang dengan sengaja mengaburkan makna agama. Mereka entah itu cendekiawan, ustaz, atau kiai menyebarkan paham pluralisme agama. Intinya, semua agama disamakan. Katanya, semua menuju kebenaran yang sama, dan semua pengikutnya akan masuk surga.
Dulu, tahun 2000-an, paham ini punya nama besar: Jaringan Islam Liberal (JIL). Kini, JIL mungkin sudah tak lagi mencolok. Namun, pahamnya tetap hidup, menyebar lewat komunitas atau individu-individu di kampus dan masyarakat.
Nah, soal ini, Majelis Ulama Indonesia sudah punya sikap tegas. Dalam Munas VII MUI di Jakarta, tepatnya 24–29 Juli 2005, mereka mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham pluralisme agama.
Fatwa bernomor 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 itu secara gamblang menyatakan paham ini haram. Alasannya, paham ini menyamakan semua agama secara teologis, menjadikan agama sesuatu yang relatif, dan menghapus klaim kebenaran mutlak Islam menurut syariat.
Di sisi lain, ada suara lain yang muncul dari pejabat. Menteri Agama Nasaruddin Umar, dalam sebuah acara doa bersama lintas agama di Jakarta tahun 2025, pernah berujar,
Kurikulum cinta yang digagas Menag ini patut dikritisi. Sebab, ia terasa mendorong pada penyamaan agama. Gagasannya mirip dengan apa yang dulu dirintis Nurcholish Madjid dan Gus Dur.
Padahal, dalam Islam, ada keyakinan dasar yang tak bisa ditawar: hanya Islam yang benar. Agama di luar Islam dianggap batil. Setiap Muslim punya kewajiban untuk mendakwahkan Islam. Itulah misi terbesar Rasulullah Saw.
Ulama-ulama besar sepanjang sejarah sudah bersuara keras soal ini. Ibnu Taimiyah, misalnya, pernah menegaskan, “Tidak halal bagi umat Islam untuk menyerupai orang kafir dalam perkara ibadah dan ritual keagamaan mereka. Karena sesungguhnya hal itu termasuk mengikuti jalan mereka yang batil.”
Ia menambahkan, “Membedakan diri dari agama-agama selain Islam adalah kewajiban yang menjaga keimanan dan kelestarian agama.”
Imam Nawawi dalam Raudhah at-Thalibin juga tegas. Katanya, ”Barang siapa meyakini ada jalan selain syariat Muhammad ﷺ yang dapat membawa kepada Allah, maka ia telah kafir.”
Pendapat serupa datang dari Imam al-Qurthubi. Saat menafsirkan surat Ali Imran ayat 85, ia menyimpulkan, “Ayat ini adalah nash qath’i bahwa tidak ada keselamatan dan penerimaan di sisi Allah kecuali dengan Islam.”
Artikel Terkait
Banjir Hantam Lapas Aceh, 428 Napi Terpaksa Dilepas Demi Nyawa
Tiga Klaster Huntap Sumatera Mulai Terbangun, Ada Skema Gotong Royong
Slank Kembali Menyentil dengan Republik Fufufafa di Ulang Tahun ke-42
Bupati dan Kapolres Sintang Ajak Masyarakat Ganti Pesta dengan Berbagi