Matahari Kita, Nilai Tambah Mereka: Ironi Ekspor Listrik Surya ke Singapura

- Minggu, 28 Desember 2025 | 06:40 WIB
Matahari Kita, Nilai Tambah Mereka: Ironi Ekspor Listrik Surya ke Singapura

Intinya, matahari dari tanah Indonesia justru membantu perusahaan asing mempercantik laporan keberlanjutan mereka tanpa memberi kompensasi yang setara untuk negara sumber energinya.

Masih tidak jelas kalau saya bilang kebijakan ini tolol?

Nah, ini yang bikin heran. Banyak orang pintar di pemerintahan, tapi kok bisa setolol ini? Sebenarnya, ini bukan soal pintar atau bodoh. Ini soal pola pikir. Sejarah ekonomi kita menunjukkan pola yang terus berulang: ekspor bahan mentah, minim hilirisasi, dan nilai tambahnya dinikmati pihak lain.

Kini, dalam versi yang lebih modern, pola itu tampil lebih sopan. Tidak lagi batu bara, tapi sinar matahari. Bukan tambang, melainkan panel surya. Tapi esensinya tetap sama. Indonesia jadi ladang produksi, negara lain yang menikmati akumulasi nilainya.

Para ekonom menyebutnya green extractivism ekstraksi nilai atas nama keberlanjutan. Kalau listrik surya cuma diekspor sebagai komoditas, ya percuma. Tidak tercipta ekosistem industri hijau di dalam negeri, tidak lahir pusat teknologi, tidak tumbuh pasar karbon yang kuat.

Belum lagi, kontrak ekspor lintas negara biasanya jangka panjang dan mengikat. Harganya dikunci saat teknologi masih mahal. Padahal, biaya energi surya di dunia terus turun drastis. Akibatnya, Indonesia bisa terjebak menjual listrik murah selama puluhan tahun, sementara nilai tambah dan teknologi melesat di negara pembeli. Ini bukan cuma salah hitung bisnis, ini kesalahan strategis yang akan dibayar oleh generasi mendatang.

Lalu, harusnya bagaimana? Pakai saja nalar bisnis yang biasa. Caranya? Jadikan energi surya sebagai input strategis, bukan barang dagangan akhir. Nilai terbesarnya justru muncul jika listrik murah itu dipakai untuk memproduksi hidrogen hijau, ammonia, menggerakkan pusat data dan AI, atau mendukung industri baterai dan kendaraan listrik di dalam negeri. Dengan skema seperti ini, listrik jadi pengungkit industrialisasi. Baru itu namanya cerdas.

Tapi, apakah mungkin diterapkan di sini? Sementara modal untuk bangun PLTS pun konon berasal dari Singapura, lewat perusahaan lokal yang jadi perpanjangan tangan mereka. I don’t think so…

Penutup

Transisi energi mestinya jadi jalan menuju kedaulatan ekonomi yang baru. Sayangnya, tanpa kebijakan yang cermat, ia malah berpotensi menjadi bentuk ketergantungan yang anyar. Energi surya bukan cuma sekadar kilowatt-jam. Ia adalah aset geopolitik, instrumen industri, dan simbol masa depan. Dan masa depan seperti sejarah tidak seharusnya kita jual dengan harga murah.

Negara yang kuat bukan yang menutup diri, tapi yang tahu persis apa yang dijual, kepada siapa, dan dengan syarat apa. Kalau tidak hati-hati, kita akan mengulangi pola lama: dulu menjual minyak, kayu, dan nikel; sekarang giliran matahari yang kita lego. Tolol, kan?


Halaman:

Komentar