"Tidak tergerak memberikan bantuan dan pertolongan apalagi bergerak cepat bersama instansi terkait untuk hentikan sejak saat itu segala upaya deforestasi yang telah menyebabkan banjir. Bertingkah seperti orang gila," tegasnya.
Jelas sekali, lanjut Sutoyo, anggota dewan itu tak paham situasi. Bergaya pahlawan tapi sonyong. Kayu gelondongan yang diameternya mungkin butuh dua pelukan orang dewasa, dikategorikan sebagai "sampah".
"Di mata hukum alam, kayu-kayu itu adalah barang bukti, nyata adanya kejahatan deforestasi di hulu," tandasnya.
"Hanya Anggota Dewan yang sudah gila, kayu bernilai jutaan rupiah itu dianggap setara dengan kulit pisang atau plastik mie instan yang harus diatur pakai UU Sampah, ini adalah eufemisme paling kurang ajar," kata Sutoyo.
Menggunakan UU Sampah untuk melarang korban mengambil kayu? Itu penghinaan yang vulgar. Kenapa tidak sekalian saja bilang, "kamu semua boleh mati kena banjir, tapi jangan coba-coba ambil kayu yang hanyut itu, karena tetap milik penjarahan hutan".
Sindirannya tak berhenti. Semua anggota dewan yang sibuk mengomentari warga itu, harus segera ditarik dan diterjunkan pakai helicopter tanpa payung ke daerah terpencil yang belum kebagian bantuan. Suruh mereka kerja paksa membersihkan "sampah" yang mereka maksud.
"Kebiadaban paling biadab ketika bencana datang, sisa-sisanya pun haram disentuh rakyat. Kayu dijaga ketat agar tidak diambil sembarangan, sementara nyawa manusia melayang seribu lebih dianggap angin lalu," sindir Sutoyo.
"Kalian boleh bodoh karena bawaan tetapi jangan keterlaluan terlalu dungu dan tolol," tegasnya menutup pembicaraan.
Artikel Terkait
Era Politik Tanpa Malu: Ketika Rasa Bersalah Tak Lagi Jadi Beban Kekuasaan
Aturan Ketat Poligami Picu Maraknya Nikah Siri di Indonesia
CFD Akhir Tahun di Bundaran HI: Antara Semangat Pagi dan Renungan Menjelang 2026
Syaikh di Manchester Tantang Maut dengan Racun Tikus, Buktikan Kekuatan Iman