Di sisi lain, ada pula Mushira Abu Watfa. Perempuan tua ini harus duduk di kursi roda. Usia dan kondisi fisik membatasinya. Tapi matanya berkaca-kaca menyaksikan jalanan kamp dipenuhi para penghafal. “Kemiskinan dan pengepungan tidak akan pernah bisa menghentikan kami,” katanya, penuh keyakinan. “Kami akan terus mengirimkan anak-anak untuk menjaga kalam Allah.”
Acara semacam ini ibarat antitesis dari apa yang coba dihancurkan Israel. Datanya berbicara keras. Menurut catatan Kantor Media Pemerintah Gaza, dalam dua tahun agresi, Israel telah menghancurkan total 835 masjid. Seratus delapan puluh masjid lainnya rusak parah.
Ini yang ironis. Padahal, perjanjian gencatan senjata sudah diteken sejak 10 Oktober lalu. Tapi faktanya, pelanggaran justru terus berjalan. Ada 875 pelanggaran baru yang tercatat, merenggut nyawa 411 warga Palestina dan melukai lebih dari seribu orang lainnya. Semua terjadi di masa yang seharusnya disebut “damai”.
Dampak agresi ini sungguh mengerikan. Dukungan persenjataan dari Amerika Serikat membantu meninggalkan luka yang dalam: 71.000 syahid, lebih dari 171.000 luka-luka. Infrastruktur sipil hancur lebur, hampir 90 persennya rata dengan tanah.
Tapi pesan dari pawai di Shati ini jelas. Mereka bilang, dunia boleh menghancurkan bangunan kami. Tapi identitas dan spiritualitas bangsa Palestina mustahil diratakan. Sertifikat penghargaan yang dibagikan hari itu bukan cuma secarik kertas. Itu adalah simbol kemenangan moral. Sebuah bukti bahwa semangat sebuah bangsa bisa mengalahkan mesin perang paling mutakhir sekalipun.
Artikel Terkait
Indonesia Serukan Penahanan Diri Jelang Eskalasi di Yaman Selatan
Aksi Pedang Samurai Gerebek Silaturahmi Natal di Minahasa
Gempa 6,6 SR Guncang Taiwan, BMKG Pastikan Tak Ada Ancaman Tsunami di Indonesia
Makam Kucing Keraton yang Bertahan di Tepi Jalan Raya Solo