Pilihan antara masjid bambu dan masjid beton sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar memilih bahan bangunan. Ini soal cara sebuah komunitas, terutama di desa, memahami makna ibadah, waktu, dan sumber daya yang mereka miliki. Beton sering diidentikkan dengan kemegahan yang mahal dan kaku. Sementara itu, bambu menghadirkan kesederhanaan yang lentur dan jauh lebih terjangkau.
Merenung di Tengah Reruntuhan
Belakangan, kita terus disambangi berita pilu. Masjid dan rumah ibadah lainnya roboh diterjang banjir dan longsor.
Bencana yang makin sering ini jelas mengganggu kekhusyukan ibadah. Tapi dampaknya lebih dari itu. Kerugian materialnya bisa sangat besar, dan itu memunculkan tanda tanya besar tentang ketangguhan bangunan tempat kita bersujud. Dalam situasi rentan seperti inilah, wacana soal filosofi dan material pembangunan rumah ibadah yang adaptif jadi terasa mendesak.
Artikel ini mencoba membandingkan dua pendekatan itu: masjid bambu versus masjid beton. Bukan cuma urusan angka dan biaya, tapi kita diajak merenung ulang. Apa sih sebenarnya arti "kemegahan" dan "keberlanjutan" dalam membangun rumah Tuhan? Pertanyaan ini penting, terutama untuk desa-desa yang akrab dengan ancaman alam.
Dilema Awal: "Kepantasan" yang Dibetonkan
Di banyak pelosok negeri ini, rencana bangun masjid biasanya diawali pertanyaan klasik. Cukupkah dana untuk bikin yang "pantas"? Nah, kata "pantas" itu lantas diterjemahkan secara seragam: beton bertulang, kubah besar, menara menjulang. Gagasan tentang masjid bambu seperti yang ada di Assam, India, atau beberapa daerah di Indonesia langsung tersingkir. Dianggap sementara, murahan, dan kurang representatif.
Padahal, kalau kita lihat dari kacamata biaya dan daya tahan fungsional, logika di balik masjid bambu justru sangat rasional. Sayangnya, ini sering kali kalah oleh persepsi.
Kontras Anggaran: Miliaran vs Jutaan
Angkanya memang jauh berbeda. Data dari Kementerian PUPR dan sejumlah pemda menunjukkan, biaya bangun masjid beton skala desa (luas 150–250 meter persegi) bisa berkisar dari Rp600 juta sampai Rp1,5 miliar. Itu sudah termasuk struktur beton, dinding bata, kubah, keramik, plus listrik dan sanitasi standar. Di beberapa tempat, biaya bisa membengkak lagi gara-gara desain kubah dan ornamen yang dianggap perlu.
Di sisi lain, skema pembangunan masjid bambu benar-benar lain. Berdasarkan laporan BNPB, UNDP Indonesia, dan beberapa kajian dari ITB pascagempa Lombok 2018, biayanya cuma sekitar Rp80 juta sampai Rp300 juta. Tergantung luas, jenis bambu, dan finishing-nya. Perbedaan mencolok ini juga terlihat pada durasi pengerjaan dan pola perawatannya nanti.
Artikel Terkait
Israel Pecah Belah Dunia Islam? Pengakuan Somaliland Picu Badai Diplomasi
Surabaya Tegaskan Hukum Satu-satunya Jalan Atas Pengusiran Nenek Elina
Kiev Gelap dan Gersang di Musim Dingin, Serangan Rudal Rusia Tewaskan Satu Warga
Ijazah Jokowi Terbukti Asli, Kubu Penggugat Malah Terbelah