Kolaborasi dengan pemda dan warga setempat disebutnya sebagai kunci. Dengan melibatkan banyak pihak, dapur ini diharapkan tak hanya hidup saat bencana, tapi juga berfungsi di masa normal sebagai pusat layanan gizi komunitas.
Ia menggambarkan betapa kelompok rentan seringkali terpinggirkan saat krisis. Keterbatasan mobilitas dan kebutuhan khusus membuat mereka sulit dapat bantuan dengan cepat. Bahkan, kadang mereka luput dari proses evakuasi.
Di sisi lain, Dapur PMBA ini dirancang sebagai ruang aman yang lebih dari sekadar tempat masak. Ia menjadi titik temu untuk interaksi, edukasi, dan pemulihan baik fisik maupun psikologis terutama bagi ibu dan anak.
Sebagai Ketua Center for Environmental Health of Pesantren (CEHP) Unusa, Syafiuddin melihat program ini sebagai penegasan peran strategis kampus. Dengan memadukan keilmuan, riset, dan pengabdian, Unusa berkomitmen mendorong terwujudnya ketahanan kesehatan yang adil.
Ke depan, ia berharap model di Bireuen ini bisa ditiru di daerah lain yang rawan bencana.
“Sinergi antara perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan masyarakat, upaya perlindungan kelompok rentan diharapkan dapat berjalan lebih sistematis, berkelanjutan, dan berdampak luas,” pungkasnya.
Pada akhirnya, dapur sederhana di Aceh itu bicara tentang hal yang lebih besar: bahwa pemulihan pascabencana harus dimulai dari mereka yang paling lemah. Itulah intinya.
Artikel Terkait
Edi Kemput: Dari Distorsi Gitar ke Suara Hati Nurani
Merapi Kembali Muntahkan Awan Panas Dua Kali dalam Sejam
Rp 32 Miliar Disalurkan untuk Guru di Daerah Bencana, Sekolah Darurat Mulai Berjalan
Listrik Kembali Menyala di 184 Desa Aceh Tengah Pascabencana