Sapaan "Teteh" itu masih terngiang asing di telinga. Seorang ibu menyapaku dengan ramah, mencampurkan kata itu dalam ocehan panjangnya. Aku cuma bisa balas senyum, mengangguk. Jujur saja, waktu itu aku belum paham betul arti setiap ucapannya. Bukan ogah menjawab, tapi perbedaan bahasa memaksaku untuk mencerna lebih pelan. Semua ini kurasakan begitu pertama kali kaki ini menapak dan menetap di Desa Cintaratu, Pangandaran.
Baru beberapa hari sebelumnya aku masih di Jatinangor. Jadi, sapaan-sapaan baru seperti "Teteh" untuk perempuan atau "Akang" untuk lelaki, dengan intonasi Sunda yang khas lembut itu, masih terasa ganjil. Kuping belum biasa. Lidah pun serba canggung, gugup, takut salah tangkap. Tapi di tengah kebingunganku itu, justru warga setempat yang jadi penyemangat.
Ada seorang ibu yang akhirnya akrab denganku. Dialah yang pertama kali menunjukkan kehangatan itu.
"Mau kemana, Teteh? Dari tadi lihatnya sibuk sekali," katanya suatu sore.
Saat aku bingung, cuma bisa senyum atau tatap kosong, ia malah tertawa kecil. Tak tersinggung sedikitpun. Malah kemudian ia menawarkan makanan, bantuan, dengan keramahan yang tulus. Seolah-olah bahasa tak lagi jadi tembok tebal yang memisahkan kita.
Artikel Terkait
Analis Peringatkan Prabowo: 2026 Bisa Jadi Medan Pembunuhan Politik
Seragam Korpri Basah Kuyup, Petugas Damkar Lebak Tinggalkan Pelantikan Demi Padamkan Api
Waspada Kabut Tebal dan Hujan Lebat, Pengendara di Puncak Pass Diimbau Ekstra Hati-hati
Dapur PMBA Unusa di Aceh: Titik Terang bagi Kelompok Rentan Pasca-Bencana