Di sisi lain, dalam konteks sosial yang lebih luas, keberanian berpikir ini jelas sangat krusial. Masyarakat yang sehat harusnya memberi ruang bagi individu untuk berpikir kritis. Sayangnya, kenyataannya sering berbeda. Budaya instan masa kini lebih menghargai jawaban cepat ketimbang proses berpikir yang matang dan berliku. Di titik inilah, kopi dan sunyi bisa dilihat sebagai simbol perlawanan kecil. Sebuah upaya sengaja untuk meluangkan waktu, merenung sejenak, sebelum akhirnya bertindak atau berbicara.
Pada akhirnya, ini bukan cuma pengalaman pribadi. Kopi, sunyi, dan keberanian untuk berpikir adalah kebutuhan bersama. Dari pikiran-pikiran yang lahir dalam keheningan, biasanya muncul ide-ide segar, empati yang lebih dalam, serta keputusan yang jauh lebih bijak. Maka, mungkin inilah saatnya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak ada habisnya, kita perlu sesekali berhenti. Menyeduh kopi lagi, menerima sunyi yang datang, dan mengumpulkan keberanian untuk benar-benar berpikir.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Katolik Santo Thomas Medan.
Artikel Terkait
Bung Hatta dan Secangkir Kopi: Mengapa Kejujuran Lebih Berharga daripada Kepintaran
Bandung Gelar Pertunjukan Seni untuk Renungkan 2025 dan Siapkan Harapan 2026
Klaim Sentuh Ijazah Jokowi Dibantah: Itu Keterangan yang Menyesatkan Publik
Dari Tenda Pengungsian ke Panel Surya: Kisah Seorang Mahasiswi Gaza yang Bertahan dengan Mengisi Daya Ponsel