Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam sebulan terakhir ini punya sebab yang jelas: hujan yang luar biasa lebat. Menurut Abdul Muhari dari BNPB, curah hujan ekstrem jadi pemicu utamanya. Data dari BMKG pada 25–27 November lalu memang menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan. Banyak wilayah di pesisir timur Aceh, plus sejumlah daerah di dua provinsi tetangganya, diguyur hujan dengan kategori sangat ekstrem.
Nah, salah satu titik yang paling parah terdampak adalah Kabupaten Bireuen di Aceh. Di sana, intensitas hujan tercatat mencapai angka yang sulit dibayangkan: 418 milimeter hanya dalam waktu 24 jam.
“Di beberapa titik, seperti Bireuen, itu bahkan mencapai 418 milimeter dalam 24 jam. Kalau kita punya 418 milimeter dalam satu hari, itu kira-kira curah hujan kurun empat sampai lima bulan turun dalam satu malam,” jelas Abdul dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta Timur, Jumat (26/12).
“Inilah kenapa untuk Aceh, daerah-daerah di pesisir Timur ini adalah daerah yang paling parah dampaknya akibat Siklon Tropis Senyar ini,” sambungnya.
Angka 418 milimeter itu bukan main-main. Ia bahkan melampaui rekor hujan ekstrem di Jakarta pada 2020 yang 'hanya' 377 milimeter per hari, atau di Nusa Tenggara Timur pada April 2021 yang sebesar 306 milimeter. Menurut Abdul, kejadian di Aceh ini adalah catatan intensitas curah hujan tertinggi yang direkam BMKG dalam enam tahun terakhir.
Memang, standarnya BMKG sendiri sudah ketat. Curah hujan di atas 150 milimeter dalam sehari saja sudah dikategorikan ekstrem. Bayangkan, yang terjadi di Bireuen hampir tiga kali lipat dari ambang batas itu. Wajar saja dampaknya begitu luas.
Artikel Terkait
Jerat Scam di Kamboja: Sembilan WNI Pulang Setelah Kabur dari Kantor Penjara
KPK Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi Tambang Rp 2,7 Triliun di Konawe Utara
Teddy Indra Wijaya Sambangi Kapolri hingga Adik Prabowo di Hari Natal
Ketenangan Batin: Kunci Menemukan Harmoni di Tengah Dunia yang Tak Bisa Dikendalikan