Hukum di Bawah Bayang-bayang Kekuasaan
Penulis: Sri Radjasa, M.BA
(Pemerhati Intelijen)
Dalam demokrasi, hukum mestinya jadi pilar utama. Penyangga keadilan, pelindung warga dari kesewenangan. Tapi lihatlah sekarang. Praktiknya justru berbalik arah. Hukum seringkali jadi lentur, ditafsirkan ulang untuk kepentingan politik sesaat. Keadilan yang sejati? Rasanya makin tersingkir.
Fenomena ini sebetulnya sudah lama jadi bahan kajian. Pemikir macam Philippe Nonet dan Philip Selznick pernah mengingatkan: saat kekuasaan mendikte pembentukan dan penafsiran hukum, otonominya akan luntur. Hukum berubah jadi alat yang kaku dan ortodoks. Fungsinya bergeser, dari pelindung hak warga menjadi penjaga status quo penguasa. Pada akhirnya, ia bukan lagi pengontrol, melainkan pembenar.
Gejalanya terasa begitu nyata belakangan ini. Ambil contoh Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025. Aturan itu membuka jalan bagi perwira aktif Polri untuk menduduki jabatan di 17 kementerian dan lembaga negara. Banyak yang mempertanyakan. Bukankah ini bertabrakan dengan semangat konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi soal netralitas institusi keamanan?
Yang lebih ironis, pemerintah bukannya mengoreksi. Mereka malah berencana mengukuhkannya lewat Peraturan Pemerintah. Di titik ini, hukum seolah kehilangan ruhnya. Ia tak lagi jadi pagar pembatas, melainkan sekadar stempel legitimasi. Prosedur formal mungkin terpenuhi, tapi rasa keadilan masyarakat di mana? Inilah wajah hukum yang tunduk.
Artikel Terkait
Ayah Absen di Rumah: Fenomena Baru yang Menggerus Ketahanan Keluarga
Ribuan Tawon Serbu Jembatan Cisomang, Lalu Lintas Tak Terganggu
Durian dari Warga Gayo Lues untuk Awak Helikopter Bantuan
Guru Lelah, Istilah Berganti: Rebranding atau Pengaburan Masalah?