Begitu tulisan soal rokok muncul, berderet komentar pun berdatangan. Isinya, ya, klise. Tapi justru di situlah letak daya tariknya. Bukan karena kebenarannya, tapi karena ia mengungkap sebuah pola pikir yang sangat manusiawi.
Pernah nggak sih, sadar atau nggak, kita membela satu kebiasaan buruk dengan cara menuding kebiasaan buruk lain yang 'katanya' lebih parah? "Ah, saya merokok sih masih mending, lihat tuh orang minum obat seumur hidup," atau "Gula itu lebih berbahaya, tahu!"
Menurut sejumlah ahli psikologi, ini mekanisme pertahanan diri yang klasik. Namanya cognitive dissonance. Intinya, ada ketegangan batin saat kita tahu suatu hal itu salah, tapi belum siap melepasnya. Daripada sakit hati, otak kita dengan lihai mencari pembanding. Pokoknya, biar nggak merasa sendiri dalam kesalahan.
Namun begitu, logika perbandingan macam ini sejak awal sudah bermasalah. Seperti membandingkan apel dan pesawat terbang.
Ambil contoh rokok dan obat. Rokok, mau bagaimana pun, adalah paparan racun yang disengaja. Ia mengandung ribuan zat kimia ratusan di antaranya beracun, puluhan pemicu kanker. Ini fakta ilmiah yang sudah disepakati global. Rokok tidak dirancang untuk menyembuhkan. Fungsinya cuma satu: memberi sensasi sesaat, sambil perlahan menggerogoti tubuh dari dalam.
Obat? Iya, zat kimia juga. Tapi bedanya jauh.
Obat lahir dari riset panjang, uji coba berlapis, dengan dosis yang diukur sangat ketat. Tujuannya terapeutik: memperbaiki kerusakan yang sudah ada. Memang ada efek samping? Pasti. Tapi dalam farmakologi, yang ditimbang adalah mana yang lebih besar: manfaatnya atau mudaratnya. Untuk obat-obatan esensial, jawabannya jelas yang pertama.
Lalu, bagaimana dengan anggapan bahwa perokok 'tampak' sehat-sehat saja?
Artikel Terkait
Ragunan Ramai, Kakek-Nenek dan Keluarga Pilih Liburan Murah Meriah
Libur Panjang 2025, Lembang Tersendat Macet Hingga ke UPI
Pantai Selatan Jember Berbahaya, Polisi Gencar Ingatkan Wisatawan
Dokter Samira Resmi Jadi Tersangka Pencemaran Nama Baik Richard Lee