Sudan: Bencana yang Terlupakan di Tengah Hiruk-Pikuk Dunia

- Rabu, 24 Desember 2025 | 03:06 WIB
Sudan: Bencana yang Terlupakan di Tengah Hiruk-Pikuk Dunia

Dunia saat ini tampaknya sibuk dengan perang di Ukraina, kekerasan di Gaza, dan ketegangan antara AS dengan Tiongkok. Tapi ada satu bencana yang nyaris tak terdengar, meski skalanya sangat mengerikan: konflik di Sudan. Sejak April tahun lalu, negara itu terbelah oleh pertempuran brutal antara dua kekuatan yang dulu bersekutu Tentara Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Mereka kini saling menghantam, dan rakyat biasa yang paling menderita.

Akibatnya bukan cuma kekacauan politik. Yang terjadi adalah kehancuran total. Jutaan orang terpaksa mengungsi, kelaparan merajalela, rumah sakit hancur, anak-anak tak bisa sekolah, dan perempuan menghadapi kekerasan seksual yang dipakai sebagai senjata perang. Sungguh ironis, ini krisis kemanusiaan terbesar di planet saat ini, tapi perhatian dunia terhadapnya sangatlah kecil. Seolah-olah tragedi ini berlangsung dalam keheningan.

Banyak pengamat melihat situasi ini sebagai cermin dari apa yang mereka sebut New World Disorder tata dunia baru yang kacau. Tulisan ini akan membahasnya lebih jauh.

Pengungsian Tanpa Akhir

Angkanya sulit dibayangkan. Menurut data PBB, lebih dari 12 juta orang telah terusir dari rumah mereka. Mereka mengungsi di dalam negeri atau kabur ke negara tetangga seperti Chad, Mesir, Sudan Selatan, dan Ethiopia. Dalam tempo yang sama, krisis pengungsian Sudan bahkan melampaui Suriah dan Ukraina.

Mayoritas pengungsi adalah perempuan dan anak-anak. Mereka bukan cuma kehilangan atap di atas kepala, tapi juga jaring pengaman sosial, sekolah, dan layanan kesehatan paling dasar.

Yang bikin mirip, banyak dari mereka ini bukan pertama kalinya mengungsi. Di Darfur, misalnya, kekerasan massal sudah terjadi sejak dua dekade lalu dan kini kembali membara. Bagi sebagian warga Sudan, hidup mereka adalah siklus pengungsian yang berulang kali kedua, bahkan ketiga. Pengungsian bukan lagi keadaan darurat, melainkan kondisi permanen yang dialami satu generasi.

Kelaparan yang Sengaja Diciptakan

Lebih dari 21 juta orang hampir separuh populasi Sudan mengalami kerawanan pangan akut. Ratusan ribu lainnya berada di ambang kelaparan parah, kategori tertinggi dalam skala global.

Tapi ini bukan salah alam. Kelaparan ini adalah produk langsung dari perang. Lahan pertanian ditinggalkan atau dihancurkan. Jalur pasokan makanan diputus oleh pertempuran dan blokade. Bantuan kemanusiaan pun dihalangi, bahkan dijarah, oleh kelompok bersenjata.

Di beberapa daerah seperti Darfur dan Kordofan, kelaparan dipakai sebagai alat kekuasaan. Dengan mengontrol akses pangan, pihak bersenjata bisa menaklukkan warga sipil tanpa tembakan. Seorang pejabat Program Pangan Dunia (WFP) dengan tegas menyebutnya engineered starvation kelaparan yang direkayasa.

Anak-anaklah yang paling menderita. UNICEF melaporkan lonjakan tajam kasus malnutrisi akut berat. Di kamp-kamp pengungsian, satu generasi tumbuh dengan tubuh lemah dan masa depan yang suram.

Rumah Sakit yang Jadi Sasaran

Dalam perang, rumah sakit seharusnya jadi zona aman. Di Sudan, justru sebaliknya. Ratusan fasilitas kesehatan diserang, dijarah, atau diduduki pasukan bersenjata. Akibatnya, sistem kesehatan negara itu lumpuh total.

Data WHO menunjukkan lebih dari 70% fasilitas kesehatan di zona konflik tidak berfungsi. Operasi darurat tak bisa dilakukan, persalinan tak tertangani, penyakit kronis dibiarkan, sementara wabah seperti kolera dan malaria menyebar tak terkendali.

Tenaga medis juga jadi sasaran. Banyak dokter dan perawat terpaksa kabur, diculik, atau dibunuh. Ribuan kematian sebenarnya bisa dicegah andai layanan kesehatan masih jalan.

Runtuhnya sistem kesehatan ini bakal meninggalkan luka yang dalam. Bahkan jika perang berhenti besok, dampaknya akan membebani Sudan selama puluhan tahun ke depan.


Halaman:

Komentar