Kayu Gelondongan Milik Rakyat: Hak Korban Bencana atas Sumber Kehidupan
Oleh: Rokhmat Widodo,
pengamat politik dan sosial
Banjir bandang dan tanah longsor melanda. Di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh pemandangannya nyaris serupa. Jalan-jalan terputus, rumah-rumah hancur. Dan di tengah reruntuhan itu, bertumpuk-tumpuk kayu gelondongan. Mereka berserakan, menghantam apa saja yang dilintasinya, memperparah dampak bencana. Tapi ada yang aneh. Setelah air surut dan tanah stabil, kayu-kayu itu tiba-tiba jadi barang terlarang. Rakyat yang rumahnya porak-poranda justru dilarang menyentuhnya.
Pertanyaannya sederhana, tapi menusuk. Kenapa sumber kerusakan itu tak boleh dijadikan sumber pemulihan?
Memang, sebelum bencana, kayu-kayu itu bukan milik warga. Tapi setelah bencana? Sunyi. Tak ada suara pemiliknya. Para pemegang konsesi kehutanan, yang biasa berkuasa, tak muncul untuk mengaku atau bertanggung jawab. Pemerintah pun bersikap ambigu. Tak diklaim sebagai aset negara, tapi rakyat dilarang memungutnya. Lantas, ini milik siapa sebenarnya?
Di sisi lain, secara teknis, kayu-kayu itu masih bisa dipakai. Untuk tiang, untuk kerangka rumah, untuk banyak hal. Kita punya sejarah panjang dengan rumah kayu. Dari rumah panggung di Sumatera sampai rumah adat di Kalimantan, kayu adalah tulang punggung kehidupan. Tradisi itu masih hidup.
Ironisnya, saat orang-orang kehilangan segalanya, mereka malah dihadapkan pada ancaman pasal-pasal hukum hanya karena ingin memungut kayu yang teronggok di depan mata.
Logikanya jadi terbalik. Di saat negara belum sepenuhnya hadir dengan bantuan yang memadai, rakyat justru dituntut untuk taat pada aturan yang kaku. Padahal, dalam kondisi darurat, hukum seharusnya berpihak pada penyelamatan. Ada prinsip kuno yang relevan: salus populi suprema lex esto. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.
Artikel Terkait
Delapan Perusahaan di Sumut Masih Menanti Vonis Pidana Usai Bencana
Ancaman Bom Melalui Email Gegerkan Sepuluh SMA di Depok
Tiga Eks Dirut Bank DKI Diadili Atas Dugaan Kredit Fiktif Sritex Rp150 Miliar
Palembang Gelontorkan Rp 12,7 Miliar untuk Atlet Berprestasi