Di sisi lain, tawa riang mereka memang berhasil mengusir bayangan trauma bencana. Tapi coba diamati lebih dalam. Di balik celoteh dan canda itu, tersimpan cerita pilu tentang rumah yang hilang, buku-buku sekolah yang basah, dan rutinitas sehari-hari yang tiba-tiba terhenti.
Bencana ini jelas mengganggu dunia pendidikan. Sudah hampir sebulan kegiatan belajar mengajar di sana libur total. Ruang kelas masih terendam lumpur, belum layak untuk diisi. Makanya, aktivitas bermain di pengungsian seperti ini jadi hibatan utama, satu-satunya pengisi waktu selama masa darurat berlangsung.
Lapangan berlumpur itu telah berubah fungsi. Dari tempat upacara dan olahraga, kini menjadi ruang bermain seadanya sekaligus ruang terapi untuk memulihkan jiwa-jiwa kecil yang terdampak.
Artikel Terkait
Sidang Korupsi Chromebook Nadiem Ditunda Lagi, Kesehatan Jadi Alasan
Anies Tegaskan Prinsip: Tak Pernah Laporkan Kritikus ke Polisi
Deru Ekskavator di Malam Hari, Perjuangan Bersihkan Pesantren dari Kubangan Kayu dan Lumpur
Pos Polisi Bertema Frozen di Jombang Sediakan Kopi dan Pijat Gratis