Nah, persoalannya jadi runyam ketika penderitaan dijadikan konten dan dipamerkan secara terbuka. Donasi yang didapat dengan mengeksploitasi kesengsaraan fisik dan mental, pada dasarnya telah mengikis makna kemanusiaan itu sendiri. Bantuan sejati harusnya memberdayakan, bukan malah menciptakan ketergantungan dan siklus eksploitasi yang baru.
Di sinilah kemampuan berpikir kritis kita diuji. Di tengah banjir informasi dan drama digital, kita harus jeli membedakan. Mana bantuan yang benar-benar menyelamatkan nyawa, dan mana yang cuma menyokong industri eksploitasi kemiskinan di ruang publik.
Memberi itu bukan cuma transaksi angka atau simbol koin di layar. Ia adalah sebuah seni. Seni yang menghormati sesama. Kita perlu lebih bijak menyalurkan empati, memastikan bantuan sampai lewat saluran yang tepercaya dan dengan cara yang menjaga kehormatan penerimanya.
Mengikuti arus zaman itu perlu, tapi kita tak boleh larut sampai nilai-nilai moral terkikis. Mari gunakan platform digital sebagai jembatan untuk kebaikan yang tulus.
Di satu sisi, mereka yang memberi tetap rendah hati. Di sisi lain, mereka yang menerima bisa berdiri dengan martabat yang utuh. Dengan begitu, kedermawanan kita tak cuma jadi notifikasi singkat di ponsel. Ia akan jadi sesuatu yang nyata, membawa berkah yang lebih dalam bagi peradaban kita bersama.
Artikel Terkait
Bus Maut di Exit Tol Banyumanik: Sopir Cadangan Diduga Gagal Kendalikan Kecepatan
Ukraina Serang Terminal Minyak Rusia, Guncang Rantai Logistik Perang
Rumah Sakit di Aceh Mulai Beroperasi, Korban Tewas Tembus 1.106 Jiwa
Jeep Rubicon Merah dan Suap Rp 2,5 Miliar untuk Eks Dirut Inhutani