Layar ponsel kita kini lebih dari sekadar jendela informasi. Ia sering berubah jadi panggung, tempat empati dan tragedi dipertontonkan secara langsung. Ya, media sosial telah menjelma menjadi pusat ekonomi baru, termasuk untuk urusan menggalang dana. Peradaban kita memang berubah drastis di era digital yang serba cepat ini.
Namun begitu, di balik kemudahan yang dijanjikan, ada sebuah fenomena yang bikin kita harus berhenti sejenak. Semakin banyak inisiatif minta bantuan online yang dibalut narasi donasi. Kita mungkin sudah biasa melihatnya: orang tua rela berendam lumpur demi uang digital, atau tayangan kesedihan yang sengaja dipoles untuk menarik perhatian. Tindakan ekstrem itu seolah jadi hal biasa.
Memang, teknologi memangkas birokrasi dan mempercepat pertolongan. Tapi di sisi lain, ia juga menciptakan suasana yang terasa teatrikal. Penderitaan seakan jadi komoditas yang diperdagangkan, semua demi memuaskan algoritma dan menarik scroll jempol penonton.
Menurut sejumlah pengamat, setiap upaya menolong seharusnya berdiri di atas dua pilar: niat yang tulus dan cara yang beradab. Ada pesan kuat dalam tradisi pemikiran klasik yang mengatakan, "tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." Ini bukan cuma soal jadi kaya, lho. Ini tentang menjaga kemuliaan manusia.
Dari kacamata hukum dan etika, setiap orang punya hak dasar atas harga diri muruah. Aktivitas yang merendahkan martabat, meski alasannya untuk bertahan hidup, sejatinya bertentangan dengan nilai-nilai luhur. Para pemikir sejak dulu sudah sepakat. Meminta-minta tanpa kebutuhan yang benar-benar mendesak, atau dharuriyat, adalah perilaku yang tercela.
Artikel Terkait
Jeep Rubicon Merah dan Suap Rp 2,5 Miliar untuk Eks Dirut Inhutani
KPK Geledah Rumah Dinas Bupati, Sita Rp400 Juta Terkait Kasus Gubernur Riau
Mantan Kapolda DIY Kenang Ustaz Jazir, Perintis Kemakmuran Masjid Jogokariyan
Bantuan BCA Tiba di Pengungsian Aceh Tamiang, Dukung Pemulihan Pasca-Banjir